Pengalaman hidup, terutama dalam berumah tangga, telah membuktikan bahwa keterbukaan yang berlebihan antarsesama, terutama antarsuami-istri, merupakan sesuatu yang tidak terpuji. Apalagi bila terjadi benturan perasaan antara suami-istri. Ada anggapan bahwa antarorang yang saling mencintai tidak akan terjadi saling mencela. Padahal, seorang suami atau istri pasti memiliki kepribadian tersendiri yang dibanggakan. Banyak perselisihan bermula dari perasaan bersalah bila melampaui batas-batas kesopanan. Tetapi, bila persaan ini sudah hilang, maka perselisihan akan semakin keras menjurus kasar, sehingga untuk mengembalikan ke kondisi semula membutuhkan waktu. Yang terbaik di antara mereka adalah yang memulai meredam kemarahannya demi kemaslahatan masa depan keluarga. Hal ini dapat dilakukan dengan diam dan tidak memperturutkan gejolak emosi serta mengalihkannya pada aktivitas lain, misalnya melakukan pekerjaan rumah, membaca Al-Qur’an, membaca buku-buku Sirah, atau berwudhu dan sholat. Wahai, muslimah, ketika engkau marah, jangan segera meninggalkan rumah, sebab hal itu pasti akan memperuncing masalah. Memang, banyak keluhan para istri yang disebabkan oleh sikap suaminya. Di antaranya, suami kalau pulang sudah larut malam sementara anak-anaknya sudah terlelap tidur, apadahal sepanjang malam ibunya telah menjanjikan bahwan ayahnya segera datang. Apalagi kalau suaminya semalaman begadang di night club, warung kopi, atau tempat-tempat lain. Hali ini pun diketahui oleh istrinya sehingga membuat hati dan perasaannya kesal, tetapi ia takut mengeluarkan kata-kata yang dapat merusak masa depan keluarga. Akhirnya, hidupnya semakin terasa kering dan beku. Hal ini diperparah ketika sang istri menyaksikan sebagian tetangganya tidak seperti yang ia alami, suami mereka sudah berada di tengah-tengah keluarga sejak sore. Inilah sesungguhnya kebahagiaan yang didambakan seorang istri. Barangkali ada sebagian istri yang termasuk tipe pertama, menahan amarah dengan menampakkan muka cemberut kepada suami. Sikapnya akan tetap seperti itu setiap kali melihat tingkah suaminya. Sementara suaminya tetap tidak melayani sikap seperti itu ketika pulang ke rumah. Inilah awal kedamain. Betapa indahnya, bila sang istri menunda keluhan dan masalahnya sampai suami istirahat. Menatap dengan penuh senyum dan lapang dada dalam menghadapai kesedihan. Mengenakan pakaian yang terbaik dan mempersiapkan anak-anaknya untuk menyambut ayahnya dengan melantunkan nasyid, “Ayah telah datang…datang pukul enam…naik kendaraan…tidak jalan kaki…naik sepeda…” dan lain-lain. Seorang istri harus memahami tugasnya dengan baik, sebab ini adalah langkah awal untuk membenahi diri suami dan anak-anaknya. Ia juga harus menatap masa depan dengan penuh optimisme. Ini akan dapat membantunya dalam mengemban beban dengan hati lapang dan jiwa yang tenang. Setiap suami-istri harus mengemban tanggung jawabnya masing-masing, tidak boleh merasa hanya punya hak tetapi tidak tidak punya kewajiban. Bila tampak kesalahan pada saudaramu Maka ampunilah kesalahannya Diantara rahmat Allah kepada istri, menjadikan sebagian acara keluarga yang menyenangkan sebagai sarana untuk menghilangkan ketegangan dan menghapus pertengkaran. Seperti juga bila sering terjadi pertengkara antara suami-istri karena suatu sebab, kemudian Allah memberi cobaan sakit ringan kepada salah seorang di antara mereka. Maka pada saat itulah perasaan segera tergerak untuk menyelamatkan kondisi ini. Sehingga perasaan marah akan segera padam dalam waktu relatif singkat, sebelum tergoda oleh bisikan-bisikan lain dari setan. Demikianlah, senantiasa dianjurkan untuk mengetahui risalah pernikahan agar tidak terjadi benturan-benturan perasaan.
Diambil dari buku Bagaimana Menyentuh Hati karya Abbas As-Siisy
(smoga Allah merahmati beliau n memasukkan beliau ke Jannah-Nya)
Posted in: