This is default featured post 1 title
Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.
This is default featured post 2 title
Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.
This is default featured post 3 title
Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.
This is default featured post 4 title
Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.
This is default featured post 5 title
Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.
01 Oktober 2010
Sebuah Semangat
Belajar dari Cacing
mempunyai sarana yang layak untuk survive atau
bertahan hidup.Tapi bukan itu yang akan saya bahas pada tulisan saya kali ini.
Dengan segala keterbatasannya cacing mampu bertahan hidup. Tak henti-hentinya ia mencari rizki yang telah dberikan Allah kepadanya. Meski kita hatu, bagaimana kondisi si cacing ini..
Sekarang coba bandingkanlah dengan manusia. Kita di ciptakan Allah dengan bentuk yang sebaik-baiknya. Sebagaimana firman Allah QS At Tiin ayat 4;
Banyak diantara kita berputus asa terhadap nikmat yang diberikan Allah. Kadang saking parahnya sampai bunuh diri. Apakah Anda pernah melihat cacing bunuh diri gara-gara putus asa dengan kondisinya yang serba kekurangan? Tidak kan?
Akhir kata, saya hanya ingin berpesan bahwa apapun kondisi Anda syukurilah itu sebagai karunia Allah. Jangan putus asa atas segala yang diberikannya. Kalau berusaha pasti ada jalan.
http://aku-bisa26.blogspot.com
Keteladanan Keluarga Umar
Jutsaimah berangkat ke kota Konstantiniyah, setelah sampai disana ia menemui kaisar heraclius dan menyerahkan surat Khalifah Umar juga menyerahkan surat dan gelas kaca berisi minyak wangi dari istri Khalifah kepada permaisuri,sesuai permintaan istri Khalifah, Jutsamah menerjemahkan suratnya kepada permaisuri yang isinya sbb :
Dari Ummu Kulsum, istri Amirul Mu`minin Umar
Kepada Martina, permasuri kaisar Rumawi Heraclius
Salam sejahtera untuk-mu..
Aku mengajak anda untuk meraih kebahagiaan di dunia dan akhirat
saudariku, masuklah anda kedalam islam, jika anda masuk Islam, suamimu akan mengikutimu lalu rakyatmu juga akan memeluk Islam karena itu anda akan mendapatkan ganjaran pahala ribuan orang yang mendapatkan hidayah..
Mendengar isi surat itu, permaisuri merasa kagum. Ia berkata :” Aku terima hadiah berupa gelas berisi minyak wangi ini, tapi aku menolak ajakan masuk Islam, aku tetap berpegang pada agamaku”. lalu Martina menitipkan kalung permata yg sangat mahal sebagai hadiah bagi Ummu Kultsum.
Jutsamah pulang ke Madinah, ia menyerahkan kalung permata itu kepada Al-Husain untuk diberikan kepada kakaknya Ummu Kultsum, betapa senangnya Ummu Kultsum dengan hadiah sang permaisuri kaisar tsb. Namun kemudian Khalifah Umar melihat kalung permata itu dan bertanya dari mana ia memperolehnya. Ummu Kultsum-pun menjelaskan asal usul kalung tersebut.
Mendengar penjelasan dari istrinya, Khalifah Umar ra berkata : “kalung itu adalah hak kaum muslimin, karena itu kalung tersebut harus diserahkan kepada baitul maal”
Ucapan Khalifah Umar ra membuat Ummu Kultsum marah, ia berkata :” aku tidak mau bicara lagi denganmu selamanya”
Khalifah pergi ke masjid menyuruh muazzin untuk memanggil kaum muslimin, setelah mereka berkumpul Khalifah naik ke mimbar dan menceritakan ihwal kalung yg diterima istrinya kepada kaum muslimin, setelah itu Khalifah berkata :” kalung itu harus dikembalikan kepada baitul maal, Ummu Kultsum tidak berhak mengambilnya, ia memperolehnya karena ia istri Amirul Mu`minin”
Kaum muslimin yg hadir mengatakan :” kami ridha kalung itu untuk Ummu Kultsum, biarlah kalung itu menjadi miliknya Ya Amiral Mu`minin ”
Khalifah pulang ke rumahnya, ia bertanya kepada istrinya :”apakah engkau masih marah padaku?, aku telah bermusyawarah kepada`kaum muslimin di masjid tentang kalung ini, mereka sepakat dan ridha kalung itu menjadi milikmu, akan tetapi jika engkau memyerahkannya ke baitul maal, itu jauh lebih baik”
Cerita tentang kalung itu sampai juga kepada Imam Ali ibn Abi Thalib ra ayah dari Ummu Kultsum. Sepulang dari sebuah perjalanan Imam Ali meminnta izin untuk bertemu dengan Khalifah Umar ra, Khalifah menyambutnya seraya berkata :” ahlan ya Abal Hasan, silakan masuk..”
Imam Ali memberi salam kepada putrinya, Ummu Kultsum-pun mencium tangan ayahnya. Imam Ali berkata :” mana kalung itu, wahai putri-ku?” lalu Ummu Kultsum menunjukkannya sambil berkata :” ini ayah..”
Imam Ali berkata :” wahai, putriku, kalung ini tidak pantas dipakai oleh keluarga Rasulullah saw dan juga keluarga Khalifah Umar, kalung ini hanya pantas dikenakan oleh keluarga kaisar atau kisra, engkau tidak seperti wanita-wanita lain, engkau adalah putri Fatimah Azzahra`cucu Rasulullah saw, engkau adalah anakku, istri Khalifah Umar, pemimpin kaum muslimin, lebih baik bagimu bila orang-orang berkata :” suaminya telah menzaliminya demi kepentingan kaum muslimin dari pada mereka berkata :” suaminya menzalimi kaum muslimin demi kepentingan istrinya”, silakan pertimbangkan apa yang engkau akan pilih, apakah engkau akan memilih Allah dan kenikmatan akhirat atau memilih kalung ini, wahai putriku ?”
Ummu Kultsum menjawab :” tentu aku akan memilih Allah dan kenikmatan akhirat, silakan ambil kalung ini ayah dan serahkan ke baitul maal”…. SubhanalLaah
Imam Ali berkata :” semoga Allah memberkahimu wahai anakku…”
menyaksikan kejadian ini Khalifah Umar ra berkata dengan suara keras :” Sungguh keturunan yang baik berasal dari keluarga yang baik juga…”
Aina anta Ya Umar ???…
Hati Seluas Danau
“Kenapa kau selalu murung, nak? Bukankah banyak hal yang indah di dunia ini? Ke mana perginya wajah bersyukurmu? ” sang Guru bertanya.
“Guru, belakangan ini hidup saya penuh masalah. Sulit bagi saya untuk tersenyum. Masalah datang seperti tak ada habis-habisnya, ” jawab sang murid muda.
Sang Guru terkekeh. “Nak, ambil segelas air dan dua genggam garam. Bawalah kemari. Biar kuperbaiki suasana hatimu itu.”
Si murid pun beranjak pelan tanpa semangat. Ia laksanakan permintaan
gurunya itu, lalu kembali lagi membawa gelas dan garam sebagaimana yang diminta.
“Coba ambil segenggam garam, dan masukkan ke segelas air itu,” kata Sang Guru. “Setelah itu coba kau minum airnya sedikit.”
Si murid pun melakukannya. Wajahnya kini meringis karena meminum air asin.
“Bagaimana rasanya?” tanya Sang Guru.
“asin, dan perutku jadi mual,” jawab si murid dengan wajah yang masih meringis.
Sang Guru terkekeh-kekeh melihat wajah muridnya yang meringis keasinan. “Sekarang kau ikut aku.” Sang Guru membawa muridnya ke danau di dekat tempat mereka. “Ambil garam yang tersisa, dan tebarkan ke danau.” Si murid menebarkan segenggam garam yang tersisa ke danau, tanpa bicara. Rasa asin di mulutnya belum hilang. Ia ingin meludahkan rasa asin dari mulutnya, tapi tak dilakukannya.
Rasanya tak sopan meludah di hadapan guru , begitu pikirnya.
“Sekarang, coba kau minum air danau itu,” kata Sang Guru sambil mencari batu yang cukup datar untuk didudukinya, tepat di pinggir danau.
Si murid menangkupkan kedua tangannya, mengambil air danau, dan membawanya ke mulutnya lalu meneguknya. Ketika air danau yang dingin dan segar mengalir di tenggorokannya, Sang Guru bertanya kepadanya, “Bagaimana rasanya?”
“Segar, segar sekali,” kata si murid sambil mengelap bibirnya dengan
punggung tangannya. Tentu saja, danau ini berasal dari aliran sumber air di atas sana. Dan airnya mengalir menjadi sungai kecil di bawah. Dan sudah pasti, air danau ini juga menghilangkan rasa asin yang tersisa di mulutnya. “Terasakah rasa garam yang kau tebarkan tadi?”
“Tidak sama sekali,” kata si murid sambil mengambil air dan meminumnya
lagi. Sang Guru hanya tersenyum memperhatikannya, membiarkan muridnya itu meminum air danau sampai puas.
“Nak,” kata Sang Guru setelah muridnya selesai minum. “Segala masalah dalam hidup itu seperti segenggam garam. Tidak kurang, tidak lebih. Hanya segenggam garam. Banyaknya masalah dan penderitaan yang harus kau alami sepanjang kehidupanmu itu sudah dikadar oleh Allah, sesuai untuk dirimu. Jumlahnya tetap, segitu-segitu saja, tidak berkurang dan tidak bertambah. Setiap manusia yang lahir ke dunia ini pun demikian. Tidak ada satu pun manusia, walaupun dia seorang Nabi, yang bebas dari penderitaan dan masalah.”
Si murid terdiam, mendengarkan.
“Tapi Nak, rasa ‘asin’ dari penderitaan yang dialami itu sangat tergantung
dari besarnya qalbu yang menampungnya. Jadi Nak, supaya tidak merasa menderita, berhentilah jadi gelas. Jadikan qalbu/hati dalam dadamu itu jadi seluas danau.”