This is default featured post 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured post 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured post 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured post 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured post 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

01 Oktober 2010

Sebuah Semangat

Segala sesuatu yang diciptakan Allah di dunia ini tidak ada yang sia-sia namun mempunyai fungsi yang berbeda-beda. Misalnya; air untuk munum, udara untuk bernafas, dan masih banyak lagi ciptaan Allah yang lainnya termasuk manusia. Manusia diciptakan Allah dengan bentuk/ wujud yang paling sempurna diantara makhluk-makhluk-Nya yang lain. Firman Allah dalam surat At-Tiin Ayat 4; “Sesungguhnya kami Telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya”. Dengan melihat penggalan ayat tersebut jelaslah bahwa Allah tidak ingin manusia menjadi hina. Allah menciptakan manusia dengan bentuk paling sempurna agar manusia yang menjadi wakil-Nya di bumi juga menjadi makhluk yang mulia. Manusia juga dibekali dengan nafsu, akal, ilmu dll, itulah yang menjadi pelengkap kesempurnaan manusia tersebut. Maka pergunakanlah itu dengan baik, disamping akan menghasilkan hal-hal yang baik, juga akan mendapatkan ridho-Nya.

Bercita-citalah setinggi langit dan berpikirlah untuk maju. Jadikanlah hari ini lebih baik daripada hari kemarin. Kita diciptakan bukan untuk kalah dan bukan pula untuk gagal, tapi kita diciptakan Allah sebagai wakil-Nya di bumi. Jadilah pribadi yang selalu optimis. Karena optimis merupakan kegigihan untuk memperjuangkan sasaran untuk menuju kesuksesan. Meski gagal, namun pandanglah kegagalan itu sebagai situasi yang dapat kita kendalikan ketimbang sebagai kekurangan pribadi. Ingatlah Allah dekat dengan kita, Ia ingin agar kita berhasil karena itu, Allah senantiasa mendampingi kita dengan suara-suara hati yang merupakan pengejawantahan sifat-sifat-Nya.

Kekuatan pikiran bawah sadar yang seringkali membuat sugesti, adalah energi dahsyat yang berguna bagi diri kita. Untuk itu, bangkitkanlah energy itu, biarkan ia membara dalam dada. Doktrinlah diri sendiri untuk mengingat Kebesaran Allah, isi sanubari dengan menyebut “Maha Besar Allah ” setiap waktu. Maka kekuatan energi akan mengalir dan membakar semangat. Kemudian tetapkan kemauan, dan bedakan antara kemauan “biasa” dan kemauan yang “membara”. Rahasia sebuah keberhasilan adalah terus menerus mengingat bahwa kita lebih baik daripada yang kita pikirkan.

Janganlah menjadi pribadi yang selalu rendah diri, selalu meremehkan diri sendiri. Kalau anda menyadari, andaikata komputer di jadikan satu komputer yang paling canggih sekalipun, tidak sanggup menyaingi manusia sebagai ciptaan Allah. Sadarilah bahwa Allah sudah memberi modal pada diri kita, sekarang tinggal bagaimana kita menggunakan. Jangan sia-siakan pemberian Allah ini. Yakinlah bahwa kita dirancang dan diciptakan sedemikian rupa sempurnanya bukan untuk kalah dan bukan pula untuk gagal tapi kita diciptakan untuk berhasil. Tanamkan pada diri sendiri bahwa “SAYA HARUS BISA…!!!”. Karena tidak ada alasan untuk mengatakan “tidak”. Kita telah diberi modal yang luar biasa oleh Allah. Allah berfirman dalam Q.S. Ar Ra’d ayat 11;“…..Sesungguhnya Allah tidak merobah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka merobah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri……..”

Belajar dari Cacing

Anda pasti pernah melihat cacing. Entah itu di kebun, sawah atau ladang. Cacing adalah binatang melata yang hidup di tanah. Mungkin sebagian orang akan jijik melihatnya. Namun jika Anda perhatikan, pasti Anda akan berfikir betapa lemahnya binatag ini. Bagaimana tidak, ia tidak memiliki tangan, kaki dan mata. Cacing seolah-olah tidak
mempunyai sarana yang layak untuk survive atau
bertahan hidup.Tapi bukan itu yang akan saya bahas pada tulisan saya kali ini.
Dengan segala keterbatasannya cacing mampu bertahan hidup. Tak henti-hentinya ia mencari rizki yang telah dberikan Allah kepadanya. Meski kita hatu, bagaimana kondisi si cacing ini..
Sekarang coba bandingkanlah dengan manusia. Kita di ciptakan Allah dengan bentuk yang sebaik-baiknya. Sebagaimana firman Allah QS At Tiin ayat 4;
”sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya”.

Banyak diantara kita berputus asa terhadap nikmat yang diberikan Allah. Kadang saking parahnya sampai bunuh diri. Apakah Anda pernah melihat cacing bunuh diri gara-gara putus asa dengan kondisinya yang serba kekurangan? Tidak kan?
Akhir kata, saya hanya ingin berpesan bahwa apapun kondisi Anda syukurilah itu sebagai karunia Allah. Jangan putus asa atas segala yang diberikannya. Kalau berusaha pasti ada jalan.

Keteladanan Keluarga Umar

Suatu saat Khalifah Umar ra mengutus Jutsamah ibn Musahiq Al-Kinani ra untuk menyampaikan surat kepada Kaisar Rumawi Helaclius, ketika Jutsamah akan berangkat, Ummu Kultsum binti Ali ibn Abi Thalib ra istri Khalifah Umar ra bersama adiknya Al-Husain ibn Ali ra menitipkan surat kepada permaisuri kaisar yang bernama Martina, selain surat Ummu Kulsum juga menitipkan sebuah gelas kaca berisi minyak wangi sebagai hadiah untuk permaisuri.

Jutsaimah berangkat ke kota Konstantiniyah, setelah sampai disana ia menemui kaisar heraclius dan menyerahkan surat Khalifah Umar juga menyerahkan surat dan gelas kaca berisi minyak wangi dari istri Khalifah kepada permaisuri,sesuai permintaan istri Khalifah, Jutsamah menerjemahkan suratnya kepada permaisuri yang isinya sbb :

Dari Ummu Kulsum, istri Amirul Mu`minin Umar
Kepada Martina, permasuri kaisar Rumawi Heraclius
Salam sejahtera untuk-mu..

Aku mengajak anda untuk meraih kebahagiaan di dunia dan akhirat
saudariku, masuklah anda kedalam islam, jika anda masuk Islam, suamimu akan mengikutimu lalu rakyatmu juga akan memeluk Islam karena itu anda akan mendapatkan ganjaran pahala ribuan orang yang mendapatkan hidayah..

Mendengar isi surat itu, permaisuri merasa kagum. Ia berkata :” Aku terima hadiah berupa gelas berisi minyak wangi ini, tapi aku menolak ajakan masuk Islam, aku tetap berpegang pada agamaku”. lalu Martina menitipkan kalung permata yg sangat mahal sebagai hadiah bagi Ummu Kultsum.

Jutsamah pulang ke Madinah, ia menyerahkan kalung permata itu kepada Al-Husain untuk diberikan kepada kakaknya Ummu Kultsum, betapa senangnya Ummu Kultsum dengan hadiah sang permaisuri kaisar tsb. Namun kemudian Khalifah Umar melihat kalung permata itu dan bertanya dari mana ia memperolehnya. Ummu Kultsum-pun menjelaskan asal usul kalung tersebut.

Mendengar penjelasan dari istrinya, Khalifah Umar ra berkata : “kalung itu adalah hak kaum muslimin, karena itu kalung tersebut harus diserahkan kepada baitul maal”

Ucapan Khalifah Umar ra membuat Ummu Kultsum marah, ia berkata :” aku tidak mau bicara lagi denganmu selamanya”

Khalifah pergi ke masjid menyuruh muazzin untuk memanggil kaum muslimin, setelah mereka berkumpul Khalifah naik ke mimbar dan menceritakan ihwal kalung yg diterima istrinya kepada kaum muslimin, setelah itu Khalifah berkata :” kalung itu harus dikembalikan kepada baitul maal, Ummu Kultsum tidak berhak mengambilnya, ia memperolehnya karena ia istri Amirul Mu`minin”

Kaum muslimin yg hadir mengatakan :” kami ridha kalung itu untuk Ummu Kultsum, biarlah kalung itu menjadi miliknya Ya Amiral Mu`minin ”

Khalifah pulang ke rumahnya, ia bertanya kepada istrinya :”apakah engkau masih marah padaku?, aku telah bermusyawarah kepada`kaum muslimin di masjid tentang kalung ini, mereka sepakat dan ridha kalung itu menjadi milikmu, akan tetapi jika engkau memyerahkannya ke baitul maal, itu jauh lebih baik”

Cerita tentang kalung itu sampai juga kepada Imam Ali ibn Abi Thalib ra ayah dari Ummu Kultsum. Sepulang dari sebuah perjalanan Imam Ali meminnta izin untuk bertemu dengan Khalifah Umar ra, Khalifah menyambutnya seraya berkata :” ahlan ya Abal Hasan, silakan masuk..”

Imam Ali memberi salam kepada putrinya, Ummu Kultsum-pun mencium tangan ayahnya. Imam Ali berkata :” mana kalung itu, wahai putri-ku?” lalu Ummu Kultsum menunjukkannya sambil berkata :” ini ayah..”

Imam Ali berkata :” wahai, putriku, kalung ini tidak pantas dipakai oleh keluarga Rasulullah saw dan juga keluarga Khalifah Umar, kalung ini hanya pantas dikenakan oleh keluarga kaisar atau kisra, engkau tidak seperti wanita-wanita lain, engkau adalah putri Fatimah Azzahra`cucu Rasulullah saw, engkau adalah anakku, istri Khalifah Umar, pemimpin kaum muslimin, lebih baik bagimu bila orang-orang berkata :” suaminya telah menzaliminya demi kepentingan kaum muslimin dari pada mereka berkata :” suaminya menzalimi kaum muslimin demi kepentingan istrinya”, silakan pertimbangkan apa yang engkau akan pilih, apakah engkau akan memilih Allah dan kenikmatan akhirat atau memilih kalung ini, wahai putriku ?”

Ummu Kultsum menjawab :” tentu aku akan memilih Allah dan kenikmatan akhirat, silakan ambil kalung ini ayah dan serahkan ke baitul maal”…. SubhanalLaah

Imam Ali berkata :” semoga Allah memberkahimu wahai anakku…”

menyaksikan kejadian ini Khalifah Umar ra berkata dengan suara keras :” Sungguh keturunan yang baik berasal dari keluarga yang baik juga…”

Aina anta Ya Umar ???…

Hati Seluas Danau

Seorang ahli hikmah mendatangi seorang muridnya ketika wajahnya belakangan ini selalu tampak murung.
“Kenapa kau selalu murung, nak? Bukankah banyak hal yang indah di dunia ini? Ke mana perginya wajah bersyukurmu? ” sang Guru bertanya.

“Guru, belakangan ini hidup saya penuh masalah. Sulit bagi saya untuk tersenyum. Masalah datang seperti tak ada habis-habisnya, ” jawab sang murid muda.

Sang Guru terkekeh. “Nak, ambil segelas air dan dua genggam garam. Bawalah kemari. Biar kuperbaiki suasana hatimu itu.”
Si murid pun beranjak pelan tanpa semangat. Ia laksanakan permintaan
gurunya itu, lalu kembali lagi membawa gelas dan garam sebagaimana yang diminta.

“Coba ambil segenggam garam, dan masukkan ke segelas air itu,” kata Sang Guru. “Setelah itu coba kau minum airnya sedikit.”
Si murid pun melakukannya. Wajahnya kini meringis karena meminum air asin.
“Bagaimana rasanya?” tanya Sang Guru.
“asin, dan perutku jadi mual,” jawab si murid dengan wajah yang masih meringis.

Sang Guru terkekeh-kekeh melihat wajah muridnya yang meringis keasinan. “Sekarang kau ikut aku.” Sang Guru membawa muridnya ke danau di dekat tempat mereka. “Ambil garam yang tersisa, dan tebarkan ke danau.” Si murid menebarkan segenggam garam yang tersisa ke danau, tanpa bicara. Rasa asin di mulutnya belum hilang. Ia ingin meludahkan rasa asin dari mulutnya, tapi tak dilakukannya.

Rasanya tak sopan meludah di hadapan guru , begitu pikirnya.
“Sekarang, coba kau minum air danau itu,” kata Sang Guru sambil mencari batu yang cukup datar untuk didudukinya, tepat di pinggir danau.
Si murid menangkupkan kedua tangannya, mengambil air danau, dan membawanya ke mulutnya lalu meneguknya. Ketika air danau yang dingin dan segar mengalir di tenggorokannya, Sang Guru bertanya kepadanya, “Bagaimana rasanya?”

“Segar, segar sekali,” kata si murid sambil mengelap bibirnya dengan
punggung tangannya. Tentu saja, danau ini berasal dari aliran sumber air di atas sana. Dan airnya mengalir menjadi sungai kecil di bawah. Dan sudah pasti, air danau ini juga menghilangkan rasa asin yang tersisa di mulutnya. “Terasakah rasa garam yang kau tebarkan tadi?”

“Tidak sama sekali,” kata si murid sambil mengambil air dan meminumnya
lagi. Sang Guru hanya tersenyum memperhatikannya, membiarkan muridnya itu meminum air danau sampai puas.

“Nak,” kata Sang Guru setelah muridnya selesai minum. “Segala masalah dalam hidup itu seperti segenggam garam. Tidak kurang, tidak lebih. Hanya segenggam garam. Banyaknya masalah dan penderitaan yang harus kau alami sepanjang kehidupanmu itu sudah dikadar oleh Allah, sesuai untuk dirimu. Jumlahnya tetap, segitu-segitu saja, tidak berkurang dan tidak bertambah. Setiap manusia yang lahir ke dunia ini pun demikian. Tidak ada satu pun manusia, walaupun dia seorang Nabi, yang bebas dari penderitaan dan masalah.”

Si murid terdiam, mendengarkan.
“Tapi Nak, rasa ‘asin’ dari penderitaan yang dialami itu sangat tergantung
dari besarnya qalbu yang menampungnya. Jadi Nak, supaya tidak merasa menderita, berhentilah jadi gelas. Jadikan qalbu/hati dalam dadamu itu jadi seluas danau.”

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More