This is default featured post 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured post 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured post 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured post 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured post 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

26 Juli 2010

(Rabithah)

Indeed, You’ve known
that these hearts have bonded
forgather under Your love’s shelter
gathering in obidience
allied in struggling
uphold Your order in this life
Strengthen the bonds
everlast the loves
show the ways
enlighten with your light
which never inextinguible
O Lord.. guide us
broaden our hearts
with grant of belief
and the beauty in trusting to You
revive us by knowing You
give us death as the martyr in Your path
You’re the protector and defender

MUHASABAH

Saudaraku ibnu yang ku cinta…,

Dengan mengharap inayah dan ridha Allah ~insya’Allah~ ku tuliskan risalah ini hanya untukmu, ibnu, bukan kepada yang lain. Risalah yang –insya’Allah- hanya tertuliskan atas nama cinta karena Allah…

Saudaraku ibnu,….,lama…lama sekali aku merenungi kedalaman makna yang terkandung dalam kata-kata Hatim Al-’Asham, “Musibah dien lebih berat daripada musibah dunia.”

Kata-katanya singkat namun akan bermakna padat bila kamu mau jujur kepada Allah dan kepada dirimu sendiri. Karena bukankah kamu sering bersedih dan menangis terhadap musibah dunia melebihi musibah yang menimpa dien dan akheratmu. Kamu bersedih, atau bahkan menangis ketika ada keluarga, kerabat, tetangga atau temanmu yang meninggalkanmu untuk selamanya. Kamu bersedih ketika kamu kehilangan sejumput dunia. Kamu bersedih dan menangisi musibah-musibah dunia yang sejatinya harus kamu syukuri; karena musibah-musibah itu justru ada sebagai penggugur dosamu dan pengangkat derajatmu….

Bukankah Nabimu صلى الله عليه وسلم pernah bersabda,

“Tidaklah seorang muslim tertimpa kelelahan, rasa sakit, sesuatu yang dibenci, kesedihan, gangguan dan kegundahan, bahkan hingga duri yang menusuknya, kecuali dengannya Allah menggugurkan kesalahan-kesalahannya.” (HR. Bukhori dan Muslim).

Beliau juga bersabda, “Orang mukmin akan senantiasa diuji pada anaknya dan orang-orang terdekatnya hingga dia bersua Allah Ta’ala dengan tanpa membawa dosa.” (HR. Al-Baihaqi).

Betapa indahnya apa yang dikatakan oleh salah seorang salaf, “Laula masha’ibad dunya waradnal akhirata mafalis….,Kalau lah tidak karena musibah-musibah dunia, niscaya kita akan mendatangi akherat dalam keadaan mafalis (bangkrut).”

Tapi…,

Tapi…,

Tapi, pernahkah kamu bersedih dan menangisi musibah dien yang menimpamu sebagaimana kamu menangisi duniamu…?

Duhai ibnu, Apakah kamu bersedih dan menangis ketika….

** Kamu tidur tanpa bersuci padahal Rasulullah صلى الله عليه وسلم pernah bersabda,
“Barangsiapa yang tidur dalam keadaan suci, maka malaikat akan bersamanya di dalam pakaiannya. Tidaklah dia bangun melainkan Malaikat berdoa, “Ya Allah, ampunilah hamba-Mu si fulan karena ia tidur dalam keadaan suci.” (HR. Ibnu Hibban dan dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani)

Tidak hanya mendapat doa malaikat, tapi juga mendapatkan kebaikan dunia akherat. Nabi Muhammad صلى الله عليه وسلم bersabda,
“Tidaklah seorang muslim yang tidur setelah berdzikir dan bersuci, kemudian bangun di malam hari dan meminta kebaikan dunia dan akherat kepada Allah melainkan Allah pasti memberinya.” (HR. Imam Ahmad dan Abu Dawud, dan dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani).

Duhai ibnu, Apakah kamu bersedih dan menangis ketika….

** Kamu tidak bisa bangun di sepertiga malam terakhir, padahal Rasulullah صلى الله عليه وسلم mengingatkan,
“Sungguh Allah akan turun ke langit dunia pada sepertiga malam terakhir, kemudian Dia berfirman, “Siapa yang berdoa kepada-Ku niscaya akan Ku perkenankan, siapa yang meminta kepada-Ku niscaya akan Aku kabulkan, dan siapa yang memohon ampun kepada-Ku niscaya akan Aku ampuni.”(HR. Bukhori dan Muslim).

Duhai ibnu, Apakah kamu bersedih dan menangis ketika….

**Kamu melupakan para mujahidin, para ulama’ amilin dan saudara seimanmu dalam balutan doamu, padahal Allah Ta’ala berfirman,
“Hanyasanya orang-orang mukmin adalah bersaudara.” (Al-Hujurot; 10), lalu dimana bukti ukhuwahmu…,bila ternyata kamu tidak ingat saudaramu dalam doamu?

Bukankah Rasulullah صلى الله عليه وسلم juga pernah bersabda,
“Doa seorang muslim untuk saudaranya yang dilakukan tanpa sepengetahuan orang yang didoakannya adalah doa yang akan dikabulkan. Pada kepalanya ada seorang malaikat yang diutus kepadanya, setiap kali dia berdoa untuk saudaranya dengan sebuah kebaikan, maka malaikat tersebut berkata, “Amin dan engkaupun mendapatkan yang serupa.” (HR. Muslim)

Duhai ibnu, Apakah kamu bersedih dan menangis ketika….

**Kamu tidak sempat beristighfar di waktu sahur, padahal Allah mensifati orang-orang muttaqin yang menempati jannah-Nya dengan,
“Dan di akhir-akhir malam (waktu sahur) mereka memohon ampun (kepada Allah).” (Adz-Dzariyat; 18).

Ibunda Aisyah juga pernah berkata, “Thuba liman wujida fi shahifatihi istighfarun katsirun…,Berbahagialah orang yang di dalam shahifahnya kelak dipenuhi dengan istighfar yang banyak.”

Oleh karena hal inilah, Imam Ahmad bin Hanbal terkejut dan menggeleng-gelengkan kepala ketika beliau diberitahu bahwa ternyata orang yang beliau cari masih tertidur, “Aku tidak menyangka bahwa ada orang yang tertidur ketika waktu sahur.”

Duhai ibnu, Apakah kamu bersedih dan menangis ketika….

**Kamu pernah tertidur sehingga kamu tidak melangkahkan kakimu ke masjid untuk melaksanakan shalat shubuh berjama’ah. Bukankah engkau tahu bahwa Rasulullah صلى الله عليه وسلم pernah bersabda,
“Berikanlah kabar gembira kepada orang-orang yang berjalan ke masjid (shalat isya’ dan shalat shubuh) di kegelapan dengan balasan cahaya yang sempurna pada hari kiamat.” (HR. Abu Dawud dan Tirmidzi).

Duhai ibnu, Apakah kamu bersedih dan menangis ketika….

**Kamu terlupa menjawab panggilan suara adzan dengan mengucapkan apa yang ia ucapkan, padahal Rasulullah صلى الله عليه وسلم bersabda,
“Jika kalian mendengarkan suara muadzin, maka ucapkanlah sebagaimana yang ia ucapkan, kemudian bershalawatlah kepadaku, karena siapa yang bershalawat kepadaku, maka Allah akan membalas shalawatnya sebanyak sepuluh kali. Kemudian mintalah wasilah kepada Allah untukku, Karena itu adalah satu manzilah dimana ia menjadi milik salah seorang hamba Allah. Dan aku berharap aku lah orangnya. Barang siapa yang meminta wasilah untukku, maka ia pantas untuk mendapakan syafa’at.” (HR. Muslim).

Duhai ibnu, Apakah kamu bersedih dan menangis ketika….

**Kamu tidak menjawab adzan yang sudah selesai dikumandangkan padahal Rasulullah صلى الله عليه وسلم pernah mengingatkan,
“Barang siapa yang selesai adzan berkumandang, ia berdoa,

اللهم رب هذه الدعوة التامة والصلاة القائمة آت محمد الوسيلة والفضيلة وابعثه مقاما محمودا الذي وعدته

Maka ia pantas untuk mendapatkan syafa’atku nanti di hari kiamat.”(HR. Bukhori).

Duhai ibnu, Apakah kamu bersedih dan menangis ketika….

**Kamu kehilangan shalat sunah fajar, padahal Rasulullah صلى الله عليه وسلم pernah bersabda,
“Dua rakaat fajar itu lebih baik daripada dunia dan seisinya.” (HR. Muslim dan An-Nasa’I dan dishahihkan oleh Al-Albani).

Duhai ibnu, Apakah kamu bersedih dan menangis ketika….

**Kamu tidak shalat shubuh berjama’ah, padahal Rasulullah صلى الله عليه وسلم pernah bersabda,
“Barang siapa yang melaksanakan shalat isya’ secara berjama’ah, maka ia seperti shalat separuh malam dan barang siapa yang melaksanakan shalat shubuh secara berjama’aj, maka ia seperti menghidupkan malam seluruhnya.” (HR. Muslim dan Ad-Darimi).

Didalam riwayat Ibnu Hibban juga disebutkan, “Barang siapa yang melaksanakan shalat shubuh, maka ia berada di bawah tanggungan Allah.”

Lebih dari itu, Abdullah bin Umar mengatakan bahwa, “Sungguh aku tidak mendapati orang yang tidak shalat shubuh berjama’ah kecuali ia adalah seorang munafik.”

Tentang shalat sunah fajar dan shalat shubuh berjama’ah ini, bukankah engkau pernah membaca kisah isak tangis Anas bin Malik ?. Selalunya, ketika mengingat perlawanan sengit antara kaum muslimin dengan tentara kuffar dalam menaklukkan benteng tustur, Anas bin Malik menangis.

Ketika ditanya, “Kenapa engkau menangis bila mengingatnya, padahal kaum muslimin pada waktu itu menang ?” Ia menjawab, “Sungguh shalat shubuh berjama’ah lebih aku cinta daripada seluruh isi dunia.”

Subhanallah…,padahal beliau memiliki udzur untuk tidak shalat shubuh berjama’ah, tepat pada waktunya karena sedang berjihad. Astaghirullah….,sedangkan kamu?

Duhai ibnu, Apakah kamu bersedih dan menangis ketika….

**Kamu luput mendapatkan shaf pertama, padahal Rasulullah صلى الله عليه وسلم pernah mengingatkan, ”
“Sesungguhnya Allah dan para malaikat-Nya bershalawat kepada (orang – orang) yang berada pada shaf – shaf pertama.” (HR. Abu Dawud dan hadits ini dishahihkan oleh Syaikh Al Albani).

Duhai ibnu, Apakah kamu bersedih dan menangis ketika….

**Kamu tidak bisa berada di shaf bagian kanan, padahal Rasulullah صلى الله عليه وسلم bersabda,
“Sesungguhnya Allah dan para Malaikat-Nya senantiasa bershalawat atas (mereka yang berada pada) shaf-shaf sebelah kanan.” (HR. Abu Dawud, 2/263, hadits no. 672 dan Ibnu Majah, 1/180-181, hadits no. 991).

Diriwayatkan juga dari Bara’ bin Azib, ia berkata, “Konon, jika kami shalat bermakmum Rasululloh صلى الله عليه وسلم, kami senang berada di sebelah kanan beliau, dan beliau menghadapkan wajahnya kepada kami.” (HR. Muslim).

Duhai ibnu, Apakah kamu bersedih dan menangis ketika….

**Kamu hanya sempat berdzikir sejenak saja, padahal Rasulullah صلى الله عليه وسلم pernah memberikan kabar gembira kepada orang yang masih berdiam diri di tempat shalatnya dengan sabdanya,
“Tidaklah salah seorang diantara kalian duduk menunggu shalat, selama ia berada dalam keadaan suci, kecuali para malaikat akan mendoakannya ‘Ya Allah, ampunilah dan rahmatilah ia.” (HR. Muslim)

Duhai ibnu, Apakah kamu bersedih dan menangis ketika….
**Kamu terlupa dengan dzikir shabah wal masa’, padahal Nabi صلى الله عليه وسلم pernah bersabda,
“Barang siapa ketika paginya berdoa,

لا إله الا الله وحده لا شريك له له الملك وله الحمد وهو على كل شيء قدير

Maka ia setara dengan membebaskan budak dari anak Nabi isma’il, dicatat baginya sepuluh kebaikan, dihapus darinya sepuluh kejelekan, dianggat dengannya sepuluh derajat dan dia dilindungi dari Syetan. Dan jika dia mengucapkan doa itu di sore hari, ia mendapatkan pahala di atas hingga pagi hari.” (HR. Ahmad dan dishahihkan oleh Al-Arnauth).

Duhai ibnu, Apakah kamu bersedih dan menangis ketika….

**Kamu sering meninggalkan shalat israq, padahal kamu tahu shalat itu berpahala haji dan umrah, sempurna, sempurna dan sempurna. Kenapa sesekali kamu tidak melakukannya selagi waktu luang ada. Bukankah kamu pernah membaca kabar gembira dari Nabi Muhammad صلى الله عليه وسلم kepada umatnya perihal orang-orang yang melaksanakan shalat israq melalui sabdanya,
“Barang siapa yang melaksanakan shalat shubuh berjama’ah kemudian dia duduk berdzikir kepada Allah hingga terbitnya matahari, kemudian dia shalat dua rakaat, maka ia akan mendapatkan pahala seperti pahala haji dan umrah. Sempurna, sempurna, sempurna.” (HR. Tirmidzi dan hadit ini dihasankan oleh Al-Albani).

Duhai ibnu, Apakah kamu bersedih dan menangis ketika….

**Kamu tidak mengeluarkan sepeser rupiah pun untuk sedekah pada pagi hari itu ? bukankah dirimu tahu, bahwa rupiah yang sebenarnya adalah rupiah yang engkau sedekahkan ?, Lebih dari itu, Allah pasti akan memberikan ganti apa yang engkau sedekahkan. Rasulullah صلى الله عليه وسلم bersabda,
“Tidaklah seorang hamba memasuki waktu pagi kecuali ada dua malaikat yang turun. Salah satunya berdoa, “Ya Allah, berikanlah ganti kepada orang yang berinfak, sedangkan satunya lagi berdoa, “Ya Allah, berikanlah kehancuran pada harta orang yang enggan berinfak.” (HR. Bukhori, Muslim, Ahmad, Ibnu Hibban, Al-Hakim dan Al-Baihaqi).

Sekumpulan amalan-amalan agung di atas bisa jadi makna dari hadits Nabi yang dicantum oleh Imam Nawawi dalam hadits Arba’in yang ke-23 yang diriwayatkan oleh Imam Muslim. Bunyi akhir dari hadits tersebut adalah, “Kullun nasi yaghdu fa ba’iun nafsahu, fa mu’tiquha au mubiquha….Semua manusia yang memasuki waktu pagi pasti menjual dirinya; ada orang yang menjual dirinya dengan mentaati Allah sehingga ia membebaskan dirinya dari siksa, dan ada orang yang menjual dirinya kepada syetan dan hawa nafsu sehingga ia menjerumuskan dirinya (pada dosa dan siksa).” Begitulah penjelasan Syaikh Muhammad bin Shalih Al-’Utsaimin dalam kutaibnya, “Syarhul Arba’in An-Nawawiyah.”

Duhai ibnu, Apakah kamu bersedih dan menangis ketika….

**Kamu tidak banyak berdzikir kepada Allah Ta’ala, padahal Rasulullah صلى الله عليه وسلم pernah bersabda,
“Ada dua kalimat yang ringan diucapkan, berat di timbangan dan dicintai Ar-Rahman, yaitu; Subhanallah wa bihamdih, subhanallahil ‘azhim….” (HR. Bukhori, Muslim, Tirmidzi, Ibnu Majah, Ahmad, Ibnu Hibban, An-Nasa’I, Abu Ya’la, Baihaqi dan Ibnu Abi Syaibah). Begitu juga dengan dzikir-dzikir yang lainnya.

Duhai ibnu, Apakah kamu bersedih dan menangis ketika….

**Kamu sering meninggalkan shalat dhuha, padahal Rasulullah صلى الله عليه وسلم pernah bersabda,
“Setiap memasuki waktu pagi, setiap ruas tulang salah seorang dari kalian (yang berjumlah 360) dikenai sedekah. Tasbih adalah sedekah, tahmid adalah sedekah, tahlil adalah sedekah, takbir adalah sedekah, menyuruh kebaikan adalah sedekah, melarang yang mungkar adalah sedekah. Dan sedekah persendian itu cukup dilunasi dengan dua rakaat shalat dhuha.” (HR. Muslim).

Duhai ibnu, Apakah kamu bersedih dan menangis ketika….

**Kamu tidak ikut bertakziyah kepada jenazah muslim yang meninggal dunia dan mengiringinya hingga selesai, padahal Rasulullah صلى الله عليه وسلم pernah bersabda,
“Barangsiapa mengikuti jenazah seorang muslim dengan iman dan hanya mengharap pahala dan bersamanya hingga dikuburkan, maka sesungguhnya ia pulang dengan membawa dua qirath pahala, setiap qirath sebesar gunung Uhud. Dan barangsiapa menyolatkan lalu pulang ia membawa satu qirath” (HR. Bukhori, Muslim dan Tirmidzi)

Diriwayatkan bahwa Abdullah bin Umar pernah selesai menyolatkan jenazah dan segera pulang, kemudian beliau mendengar hadits Nabi صلى الله عليه وسلم, “Barangsiapa mengikuti jenazah seorang muslim dengan iman dan hanya mengharap pahala dan bersamanya hingga dikuburkan, maka sesungguhnya ia pulang dengan membawa dua qirath pahala, setiap qirath sebesar gunung Uhud. Dan barangsiapa menyolatkan lalu pulang ia membawa satu qirath”. Ketika mendengar hadits ini beliau merasa berat hatinya. Lalu beliau mengutus seseorang untuk menanyakan perihal hadits Abu Hurairah ini kepada Aisyah. Sambil menunggu beliau mengambil bebatuan dan menimang-nimangnya hingga utusan kembali dan berkata, “Aisyah berkata, “ Abu Hurairah benar”. Seketika ia beliau pukulkan bebatuan itu ketubuhnya sendiri dan berkata,” Aku telah menyia-nyiakan berqirath-qirath pahala!”.

Beliau menyesal karena kehilangan satu ketaatan yang bisa mendekatkan dirinya ke surga, sedang kamu menyesal kehilangan kenikmatan syahwat yang bisa mendekatkan dirinya ke neraka.

Apakah engkau bersedih…,apakah engkau menangis…., ???

Pertanyaan apakah-apakah dan apakah akan semakin panjang bila ku sebutkan semua sunah-sunah Nabimu صلى الله عليه وسلم yang menurut kata-kata manismu dan pengakuanmu, beliau lah orang yang paling engkau rindu….,

Betapa indahnya ungkapan kata seorang penyair;

Engkau mendurhakai Allah tapi engkau mengaku mencintainya
Sungguh ini sangat mengherankan (Adalah cintamu dusta adanya)
Kalau kamu memang mencintai-Nya, maka engkau akan mentaatinya
Karena bukankah orang yang mencinta akan mentaati orang yang dicinta

Lantas, apa bukti cintamu kepada Nabimu صلى الله عليه وسلم bila kamu tidak memperhatikan sunah-sunahnya ? kalau kamu memang mencintainya, maka engkau akan mentaatinya, karena bukankah orang yang mencinta akan mentaati orang yang dicinta ?

Cukuplah itu saja yang aku sebutkan untukmu wahai saudaraku. Aku nasehatkan ini semua untukmu wahai ibnu…, karena aku mencintaimu. Ya…,aku mencintai kebaikan untuk dirimu sebagaimana aku mencintai kebaikan untuk diriku.

Wahai ibnu, ketika bermunajat di malam hari bersama Rabb-mu, apakah engkau pernah merenungi semua amalanmu hari ini, bahkan semua amalanmu di dunia ini seperti halnya Rabi’ bin Khaitsam, walaupun hanya satu malam….

Tentang Rabi’ bin Khaitsam, Ibnul Jauzi dalam salah satu karyanya, Shifatus Shofwah mengisahkan bahwa beliau selalu menangis di sepanjang malam. Ibunya merasa iba melihat anaknya menderita seperti itu. Hingga ibunya beranggapan bahwa putranya telah membunuh seseorang.

“Duhai anakku.”kata ibunya dengan suara bergetar dan terbata-bata, dan menahan isak tangis karena melihat penderitaan anaknya yang sepanjang malam selalu menangis.

“Iya ibu.” Jawab Rabi’ dengan sesenggukan tangisnya yang tak kalah keras dengan sang ibu.

“Anakku….,duhai anakku yang ku sayangi. Adakah engkau telah membunuh seseorang sehingga engkau selalu menangis tersedu-sedu di sepanjang malammu ? Duhai anakku, beritahukanlah kepadaku…, beritahukanlah kepada ibumu ini agar aku mendatangi keluarga orang yang kamu bunuh dan meminta maaf untukmu. Sungguh kalau mereka mengetahui kondisimu seperti ini, mereka pasti akan memaafkanmu. Beritahukan ibu nak, siapa orang itu ?” tanya ibundanya.

“Duhai ibu…engkau benar. Anakmu ini telah membunuh. Ya, anakmu ini telah membunuh. Dia telah membunuh dirinya sendiri dengan lumpuran dosa yang ia lakukan sepanjang hidupnya.” Jawab Rabi’. Ibunya pun pergi meninggalkannya sementara Rabi’ masih semakin menjadi-jadi tangisnya, hingga membuat iba siapa pun yang melihatnya. Hal itu dilakukan sepanjang malamnya….

Tahukah kamu siapa Rabi’ bin Khaitsam ? dia adalah seorang ulama’ tabi’in yang dikenal zuhud, ahli ibadah dan dermawan. Tapi tetap merasa jauh dengan kafilah para shahabat Nabi. Katanya, “Aku pernah berkumpul bersama suatu kaum (yakni para shahabat), di mana kedudukan kami dibanding mereka laksana seorang pencuri.” Padahal Shahabat agung, Abdullah bin Mas’ud pernah memujinya, “Duhai Abu Yazid (kuniyah –nama panggilan- Rabi’), kalau Rasulullah pernah melihatmu niscaya beliau mencintaimu. Setiap kali melihatmu, aku selalu teringat dengan para mukhbitin (orang-orang yang tunduk nan khusyu’). Subhanallah…,

Tabi’in ini pula yang setiap kali ditanya, “Kaifa ashbahta,…bagaimana keadaanmu pagi ini?” ia menjawab, “Orang lemah yang banyak dosa….,kami memakan rizki-rizki kami dan kami juga tengah menanti ajal-ajal kami.”

Sebagai penutup…,

Ku katakan pada dirimu…,

Wahai ibnu, simaklah baik-baik apa yang dipaparkan oleh Muhammad Abdul Mu’thi di dalam kutaibnya yang berjudul, “Syahrun wahid li tarbiyati jilin wa’id” yang beliau nukil dari Shifatus Shofwah.

Di masa tabi’in, ada seorang abid (ahli ibadah) bashroh yang sedang menghadapi kematian, kemudian para kerabatnya datang menjenguk. Karena dia kelihatan tersiksa, ayahnya menangis.

“Wahai ayah, apa yang membuatmu menangis ?” tanya si abid.

“Wahai putraku, aku menangis karena akan kehilangan dirimu dan kepayahan yang sedang engkau rasakan.” Jawab ayahnya.

Mendengar percakapan keduanya, ibunya pun ikut menangis juga.

“Wahai ibu yang penuh cinta dan kasih, apa yang membuatmu menangis tersedu sedan ?” tanya ahli ibadah bashroh ini.

Ibunya menjawab, “Wahai putraku, aku menangis karena akan berpisah denganmu dan aku bersedih karena akan merasa kesepian sepeninggalmu.”

Kemudian putra-putranya pun ikut menangis. Si abid pun bertanya,

“Wahai putra-putraku yang akan menjadi yatim sepeninggalku, apa yang membuat kalian menangis ?”

“Wahai ayah, kami menangis karena akan berpisah denganmu dan akan menjadi yatim sepeninggalmu.” Jawab putra-putranya.

“Dudukkanlah aku, dudukkanlah aku. Menurutku, kalian semua hanya menangisi duniaku. Tidakkah ada di antara kalian yang menangisi akheratku ? tidakkah ada di antara kalian yang menangis ketika Allah menelungkupkan wajahku ke dasar bumi ? tidakkah ada di antara kalian yang menangis karena pertanyaan malaikat munkar nakir yang ditujukan kepadaku ? tidakkah ada di antara kalian yang menangis ketika aku berdiri di hadapan Robbku, Allah Ta’ala ?” Kata-kata terakhir si ahli ibadah.

Kemudian beliau meninggal dunia. Innalillahi wa inna ilaihi roji’un.

Pertanyaan terakhir yang ku ajukan kepadamu wahai ibnu, apakah engkau hanya bersedih dan menangisi duniamu dan tidak menangisi akheratmu…???

Maafku padamu wahai ibnu, bila aku membuatmu tersedu-sedu dengan catatanku ini. Justru ku tuliskan untaian nasehat yang terasa panjang ini karena aku sangat mencintaimu, setulus cintamu ketika engkau mencintai saudaramu karena Allah…..,insya’Allah.

Bukankah itu sebagaimana yang kau tuliskan di salah satu statusmu,
“Saudara yang mengingatkan akheratmu hingga membuatmu menangis tersedu-sedu, itu lebih baik dari saudara yang selalu memberikan rupiah di tanganmu. Saudara yang pertama akan menunjukkanmu kepada kebahagiaan yang tak berkesudahan sedangkan saudara yang kedua hanya memberimu sejumput dunia yang tak seberapa nilainya.”

***Ketika iman Ibnu tidak lagi seperti dulu….,yaitu ketika ibnu teringat kisah Abu Bakar Ash-Shiddiq yang mendapati para shahabat menangis sesenggukan karena membaca Al-Qur’an, kemudian beliau mengatakan perihal dirinya sendiri, “Dahulu ketika hati-hati kami bersih, kami juga pernah seperti itu…”***

Apakah engkau mendapatkan kebaikan dalam catatan ini ? Sebagai bukti cinta lillah untuk saudara seiman, maka sebarkanlah catatan ini sebanyak-banyaknya, tanpa harus meminta izin terlebih dahulu. Semoga bermanfaat.

Salam ukhuwah dari akhukum fillah, Ibnu Abdul Bari el-’Afifi.

Reference;
1. Siyaru A’lamin Nubala’ karya Imam Adz-Dzahabi;
2. Shifatush Shafwah karya Ibnul Jauzi;
3. Syarhul Arba’in An-Nawawiyyah, karya Muhammad bin Shalih Al-’Utsaimin;
4. Syarhun Wahid li Tarbiyati Jilin Wa’id karya Abdulloh Muhammad Abdul Mu’thi;
5. Menyonsong doa Malaikat karya Prof. DR. Fadhl Ilahi;
6. Umar bin Khattab karya Ahmad Abdul ‘Al Ath-Thahthawi
7. Program Maktabah Syamilah;
8. Dan bacaan-bacaan lain.

INDAH NIA TIDUR ORANG BERIMAN

Tatkala tidur, semua organ tubuh kita sedang beristirahat kecuali jantung yang masih terus berdetak. Allah bahkan menamakan tidur sebagai kematian kecil sebelum kematian yang sesungguhnya. Ringkas kata, tidak ada yang dilakukan oleh tubuh kecuali karena di luar kesadarannya. Namun sungguh menakjubkan keadaan orang-orang mukmin; walau dalam keadaan tidur sekalipun, mereka tetap mendapatkan ampunan Allah. Kok bisa ? siapa yang mendoakannya ?

1. Saudara seiman

Diriwayatkan oleh Ka’ab Al-Ahbar رضي الله عنه bahwa beliau berkata, “Berapa banyak orang yang Qiyamul lail dikaruniai rasa syukur oleh Allah dan berapa banyak orang yang tidur terlelap diampuni oleh Allah, yaitu pada dua insan yang saling mencintai karena Allah. Kemudian salah seorang dari keduanya melaksanakan sholat malam lalu Allah meridhoi sholat dan do’anya sehingga Dia tidak menolak do’anya sedikitpun. Di sela-sela do’anya di kegelapan malam, dia ingat saudaranya yang tertidur dan berdo’a, “Ya Allah, ampunilah saudaraku, fulan.” Allah pun mengampuni saudaranya padahal dia dalam keadaan tidur.” (Hilyatul Auliya’ karya Abu Nu’aim dan Al-Faiq karya Az-Zamahsyary).

Ummu Darda’ juga meriwayatkan bahwa pada suatu malam, ketika Abu Darda’ رضي الله عنه sedang shalat, ia menangis sembari berdoa, “Ya Allah, engkau telah memperbagus bentukku, maka perbaguslah akhlakku.” Doa tersebut selalu diulang-ulang hingga pagi hari.

Lalu aku bertanya, “Wahai Abu Darda’, mengapa do’amu sejak semalam hanya meminta dibaguskan akhlak saja ?”

“Wahai Ummu Darda’, bila akhlak seorang muslim baik maka kebaikan akhlaknya akan memasukkannya ke dalam jannah. Namun bila akhlaknya buruk maka keburukan akhlaknya akan memasukkannya ke dalam naar. Dan seorang muslim pasti akan diampuni dosanya meski ia tidur.” jawab Abu Darda’ رضي الله عنه.

“Bagaimana hal itu bisa terjadi ?” tanyaku

“Karena saudaranya bangun di malam hari untuk bertahajjud. Lalu ia berdoa kepada Allah dan doanya dikabulkan. Kemudian ia mendoakan saudaranya dan doanya juga dikabulkan.” Jelas Abu Darda’ رضي الله عنه .

Saling mendoakan kebaikan

Inilah sekelumit faedah yang Allah karuniakan kepada Al-Mutahabbuna fillah (orang yang saling mencinta karena Allah). Mereka melandaskan cinta dan benci karena Allah semata, bukan karena hubungan nasab apalagi harta. Karenanya, pribadi mukmin adalah pribadi yang peka terhadap kondisi saudaranya. Ia mencintai kebaikan untuk saudaranya sebagaimana ia mencintai kebaikan untuk dirinya sendiri. Dan tidak ada kebaikan yang lebih indah dari kebaikan akherat, yaitu mendapat ampunan Allah Ta’ala. Ia sadar bahwa saudaranya tidak mungkin terlepas dari dosa, baik dosa mata, dosa kaki, dosa tangan, atau dosa lisan. Kalau toh terbebas dari itu semua, ia tidak mungkin terlepas dari dosa hati berupa keteledorannya dalam menunaikan hak-hak Allah Ta’ala. Karena tidak selalunya hati saben waktu berdzikir kepada-Nya. Di sinilah kepekaan sebagai seorang mukmin muncul sehingga ia harus saling mendoakan saudaranya seiman. Bukankah doa yang terlantunkan tanpa sepengetahuan saudaranya adalah mustajab ?

Diriwayatkan oleh Abu Darda’ رضي الله عنه, beliau berkata, Rosululloh صلى الله عليه وسلم bersabda, “Tidaklah seorang muslim mendoakan kebaikan untuk saudaranya tanpa sepengetahuannya kecuali malaikat berkata, “Dan kamu juga mendapat yang serupa.” (HR. Muslim nomor 4912).

Shofwan رضي الله عنه juga meriwayatkan, ketika sampai di Negri Syam, aku bermaksud menjumpai Abu Darda’ رضي الله عنه di rumahnya. Tetapi aku tidak bertemu dengannya dan hanya bertemu dengan Ummu Darda’.

Lalu ia bertanya kepadaku, “Apakah engkau akan menjalankan ibadah haji pada tahun ini ?”

“Ya.“ jawabku.

“Kalau begitu, doakan kami semoga selalu baik-baik saja. Sesungguhnya Nabi صلى الله عليه وسلم pernah bersabda, “Doa seorang muslim untuk saudaranya tanpa sepengetahuannya itu mustajab, karena di atas kepalanya terdapat para malaikat yang setiap kali ia mendoakan kebaikan untuk saudaranya, mereka berkata, “Amin, dan semoga engkau mendapatkan kebaikan seperti itu pula.” (HR. Muslim nomor 4913).

Al-Qodhi Iyadh mengatakan,”Ada sebagian salaf yang jika hendak berdoa untuk kebaikan dirinya, ia justru mendoakan saudaranya dengan doa tersebut karena doa itu pasti akan diijabahi dan ia akan mendapatkan hal yang serupa.”

Orang yang berbahagia mendapat doa dan istighfar Malaikat

Syaikh Utsaimin menjelaskan bahwa orang yang bahagia mendapatkan doa malaikat ada dua, pertama : orang yang didoakan oleh saudaranya secara ghaib karena malaikat yang ada di samping si pendoa mengatakan, “Amin.” Yang artinya, “Kabulkanlah doa orang ini untuk saudaranya.” Dan yang kedua, orang yang mendoakan, karena malaikat akan menyahutnya dengan mengatakan, “…wa laka bi mitslin. Dan engkau juga mendapatkan yang serupa.”

Artinya, bagaimanapun juga, orang yang mendoakan saudaranya lebih baik karena ia mendapatkan dua kebaikan sekaligus, pahala berdoa dan terkabulnya doa untuknya. Padahal sekali berdoa untuk satu orang mukmin, Allah akan menuliskan untuknya satu kebaikan. Semakin banyak jumlah kaum mukminin yang kita doakan maka sebanyak itu pulalah kebaikan yang akan kita dapatkan. Inilah yang disebutkan oleh Syaikh Muhammad Nu’aim dalam kitabnya, “Kaifa tuthilu umraka.”

Diriwayatkan oleh Ubadah bin Shomit رضي الله عنه, beliau berkata, “Aku mendengar Rosululloh صلى الله عليه وسلم bersabda, “Barang siapa beristighfar untuk orang-orang beriman (laki-laki dan perempuan), maka Allah akan menuliskan untuknya satu kebaikan pada setiap mukmin dan mukminah.” (HR. Thabrani, Al-Haitsami dalam Majma’uz Zawa’id (10/94) mengatakan, hadits ini sanadnya shahih).

Allah pun memuji orang-orang beriman yang mendoakan saudaranya yang telah berlalu dengan firman-Nya,

“Dan orang-orang yang datang sesudah mereka (Muhajirin dan Anshar), mereka berdoa, “Ya Rabb kami, ampunilah kami dan saudara-saudara kami yang telah beriman lebih dahulu dari kami, dan janganlah Engkau tanamkan kedengkian dalam hati kami terhadap orang-orang yang beriman. Ya Rabb kami, sungguh Engkau Maha Penyantun lagi Maha Penyayang.” (Al-Hasyr : 10).

Teladan para Salaf

Kebiasaan beristighfar kepada saudara seiman ini sering kali dilakukan oleh shahabat agung, Abu Darda’ رضي الله عنه.

Ummu Darda’ meriwayatkan, “Abu Darda’ رضي الله عنه memiliki 350 teman seiman dan seagama. Ia selalu mendoakan mereka setiap sholat. Lalu aku menanyakan kebiasaan itu kepadanya, dan ia menjawab, “Ketika seseorang mendoakan saudaranya dari jauh tanpa sepengetahuannya, Allah menugaskan dua malaikat untuk berkata, “Wa laka bi mitslin. Semoga engkau mendapatkan seperti itu pula.” Karena itu, tidakkah wajar bila aku ingin didoakan pula oleh para malaikat ?”

Shahabat Ka’ab bin Malik رضي الله عنه pun tidak ketinggalan. Beliau selalu mendoakan dan memohonkan ampunan untuk As’ad bin Zurarah setiap kali ia mendengar adzan Jum’at. Suatu ketika anaknya bertanya, “Wahai Ayah, mengapa setiap kali mendengar adzan Jum’at, ayah selalu mendoakan Abu Umamah (As’ad) ?” “Wahai anakku, dia adalah orang yang pertama kali mengimami shalat Jum’at kami di Madinah.”jawab Ka’ab. Anaknya kembali bertanya, “Berapa jumlah kalian pada saat itu?” Ka’ab menjawab, “40 orang laki-laki.” (HR. Abu Dawud, Ibnu Majah dan Al-Hakim).

Hal ini juga dilakukan oleh Imam Ahmad رحمه الله. Beliau pernah berkata kepada putra Imam Asy-Syafi’i, “Ayahmu termasuk tujuh orang yang aku doakan kepada Allah di waktu-waktu menjelang shubuh, waktu sahur.” Dan tujuh orang tersebut adalah sahabat dan saudaranya. Karenanya, mari kita banyak mendoakan saudara kita. Semoga kita tidak hanya bertemankan di dunia semata tapi juga di jannah-Nya. Allahumma Taqabbal.

2. Para Malaikat pun beristighfar untuk mereka

Indah nian tidur orang beriman. Bukan hanya saudara seiman yang mendoakan mereka, tapi juga para malaikat pemikul Arsy dan malaikat-malaikat di sekelilingnya. Mendapat doa dan istighfar manusia itu biasa sedangkan mendapat doa dan istighfar malaikat itu baru luar biasa. Sungguh indah menjadi orang beriman.

Allah berfirman, “(Malaikat-malaikat) yang memikul ‘Arsy dan malaikat yang berada di sekililingnya bertasbih memuji Rabbnya dan mereka beriman kepada-Nya serta memintakan ampun bagi orang-orang yang beriman (seraya mengucapkan), “Ya Rabb kami, rahmat dan ilmu Engkau meliputi segala sesuatu, maka berilah ampunan kepada orang-orang yang bertaubat dan mengikuti jalan Engkau dan peliharalah mereka dari siksaan naar yang menyala-nyala.” (Al-Mukmin : 7).

Al-Qurthubi menyebutkan bahwa malaikat-malaikat pemikul Arsy dan malaikat-malaikat di sekelilingnya adalah malaikat-malaikat paling terhormat dan paling mulia. Merekalah yang mendoakan kebaikan bagi orang-orang mukmin.

“Inilah” kata Syaikh As-Sa’di “Salah satu dari sekian banyak fadhilah dan keutamaan iman; yaitu mendapat doa dari para malaikat yang beriman kepada Allah dan tidak berdosa sedikit pun. Mereka memohonkan ampun bagi mereka. Jadi, keimanan seorang mukmin lah yang menyebabkan fadhilah yang agung ini.” Allahu Akbar !

Berkenaan dengan ayat ini, Khalaf bin Hisyam pernah membacakan surat Al-Mukmin di atas kepada Salim bin Isa. Salim bin Isa pun langsung menangis dan berkata, “Wahai Khalaf, alangkah mulianya seorang mukmin di sisi Allah. Ia berbaring di kasurnya sedang malaikat memohonkan ampun baginya.”

Semoga kita bisa mempertahankan nikmat yang agung ini, nikmat Iman dan bersua Allah dengan husnul khatimah. Allahumma Inna Nas’alukal ‘Afiyata fid Dunya wal Akhirah. Ya Allah, kami memohon keselamatan dan kebaikan kepada-Mu, di dunia dan akherat.

Referensi :

  1. Syahrun Wahid li Tarbiyati Jilin Wa’id karya Abdullah Muhammad Abdul Mu’thi;
  2. Menyongsong doa malaikat karya Syaikh Utsaimin;
  3. Misteri panjang umur karya Syaikh Muhammad Nu’aim;
  4. Dan bacaan-bacaan lain.

KU AKUI

وَاللهِ لَوْ عَلِمُوْا قَبِيْحَ سَرِيْرَتِيْ

لأَبَى السَّلاَمَ عَلَيَّ مَنْ يَلْقَانِيْ

وَلَأَعْرَضُوْا عَنِّيْ وَمَلُّوْا صُحْبَتِيْ

وَلَبُؤْتُ بَعْدَ كَرَامَةٍ بِهَوَانِ

لَكِنْ سَتَرْتَ مَعَايِبِيْ وَمَثَالِبِيْ

وَحَلِمْتَ عَنْ سَقَطِيْ وَعَنْ طُغْيَانِيْ

فَلَكَ الْمَحَامِدُ وَالْمَدَائِحُ كُلُّهَا

بِخَوَاطِرِيْ وَجَوَارِحِيْ وَلِسَانِيْ

وَلَقَدْ مَنَنْتَ عَلَيَّ رَبِّ بِأَنْعُمِ

مَالِيْ بِشُكْرِ أَقَلِّهِنَّ يَدَانِ


Demi Allah, seandainya mereka mengetahui jeleknya hatiku

Niscaya orang yang bertemu denganku akan enggan menyalamiku

Mereka akan berpaling dariku dan bosan berteman denganku

Aku akan menjadi hina setelah mulia

Tetapi Engkau menutupi kecacatan dan kesalahanku

Dan Engkau bersikap lembut dari dosa dan keangkuhanku

Bagi-Mu lah segala pujian dengan hati, badan dan lidahku

Sungguh, Engkau telah memberiku nikmat yang begitu banyak

Tetapi aku kurang mensyukuri nikmat-nikmat tersebut

[Nuniyah al-Qohthoni hal. 9 ]

Dekatnya pertolongan Allah

Masih adakah yang meragukan pertolongan Alloh….?

Selasa-rabu kemarin saya mengikuti seminar, hanya saja tidak sampai malam, saya hanya mengikuti sampai magrib. Ada cerita menarik dari kakak tingkat yang mengikuti acaranya sampai jam sepuluh malam….

Jadi, hari itu adalah seminar entrepreunership yang diadakan oleh KM ITB, dengan pembicara Pak Heppy Trenggono dan tim iibf nya. Ketika malamnya diadakan real game, jadi peserta diterjunkan ke tempat2 umum untuk menjual produk selama satu jam. Produk yang dijual adalah makanan instan ‘potayo’. Setiap orang diberi 12 bungkus dengan harga perbungkusnya Rp 3000 dari panitia. Para peserta tidak boleh membawa hp/uang ketika berjualan.

Dan mulailah sebuah cerita yang menarik bagi saya….

Ada salah seorang peserta yang pada waktu mendekati habisnya satu jam, belum bisa berhasil menjual satu pun produk. Ia tetap berusaha sekuat tenaga dan pasrah. Lalu ada seorang bapak yang mobilnya mogok, peserta tersebut membantu mendorong mobil bapak tersebut sampai pada akhirnya mobil tersebut bisa berjalan kembali. Kemudian bapak itu mengucapkan terima kasih dan bertanya ke peserta tersebut,”Lagi ngapain?”. Peserta tersebut menjawab bahwa ia sedang berjualan makanan instan, ia ingin pulang ke jawa tengah tapi tidak ada uang (memang saat itu peserta dilarang membawa uang). Akhirnya bapak tersebut memberinya uang Rp 50.000. Peserta tersebut memberikan beberapa produknya agar ia tidak hanya diberi uang secara cuma2.

Dengan begitu ia sebenarnya telah balik modal (12×3000=36000). Tapi karena produk dan waktunya masih, ia berusaha menawarkan lagi ke orang2 di sana. Kemudian ia menawarkan ke seorang bapak2 d dalam mobil. Bapak2 tersebut menolak untuk membeli. Kemudian tiba2 ada seorang bocah cilik pengemis yang meminta uang ke peserta tersebut. Bocah cilik itu mengaku belum makan. Peserta tersebut menimbang2, ada selembar uang 50000 di tangannya dan produknya. Kalau ia memberikan uang itu, maka ia tidak punya uang. Tapi kalo ia memberi makanan instannya, belum tentu bisa langsung dimakan oleh bocah cilik itu. Lalu apa yang peserta itu lakukan? Pada akhirnya ia memberikan selembar uang 50000 tersebut ke bocah cilik itu. Rugikah peserta tersebut? Di tangannya itu kini tak ada uang sepeser pun. Subhanalloh…..bapak2 yang tadi menolak untuk membeli produk makanannya, menemui peserta itu. Apa yang bapak itu lakukan? Membeli produknya? Ato memberi uang 50000 seperti bapak yang mobilnya mogok tadi? Bukan itu semua. Tapi bapak itu memberikan uang Rp 400.000 secara cuma2. Subhanalloh……

Bapak2 yang memberika uang 400.000 itu bukanlah panitia, bukanlah tim iibf, tapi benar2 orang umum yang sama sekali tidak tahu bahwa orang yang berjualan itu adalah peserta seminar. Bapak2 itu hanyalah orang yang Alloh gerakkan untuk membantu peserta itu……..

Benar adanya, ketika kita ikhlas….ketika kita pasrah….ketika kita akan mengharap ridho-Nya, maka pertolongan itu dekat. Ini sebuah real game, dan dari permainan kecil ini saja Alloh sudah menunjukkan kuasa-Nya. Lalu, bagaimana dengan permainan dunia ini? Mungkin saja usaha kita macet karena kita kurang sedekah. Mungkin saja hidup kita awut2an karena kita kurang menggantungkan diri pada-Nya. Sungguh, pertolongan Alloh itu dekat….

Energi Negatif Berbuah Negatif

Pada akhir tahun 2003, sebelas malam istri saya tidak bisa tidur. Katanya, “Mas, mungkin saya kurang dibelai. Susah tidur.” Sudah saya belai-belai tapi tidak tidur-tidur juga. Akhirnya saya membawa istri saya ke Rumah Sakit Citra Insani yang kebetulan dekat dengan rumah saya. Sudah 3 hari diperiksa tapi tidak ketahuan penyakitnya. Tidak ada hasil. Kemudian saya pindahkan istri saya ke Rumah sakit Azra, Bogor. Selama berada di Rumah sakit Azra, istri saya setiap malam minum 3 galon aqua. Ya, 3 galon aqua. Karena badannya selalunya panas sehingga ia selalu kehausan; kehausan yang mencekik kerongkongan. Selama 3 bulan dirawat di Azra, penyakit istri saya belum juga diketahui penyakitnya.

Akhirnya saya putuskan untuk pindah ke Rumah sakit Harapan Mereka di Jakarta. Ya, harapan mereka karena mahal, kalau harapan kita mah murah. Satu malam berada di ruang ICU pada waktu itu senilai 2,5 juta. Istri saya waktu itu langsung di rawat di ruang ICU. Badan istri saya –maaf- tidak memakai sehelai pakaian pun. Dengan ditutupi kain, badan istri saya penuh dengan kabel yang disambungkan ke monitor untuk mengetahui keadaan istri saya. Selama 3 minggu, penyakit istri belum bisa teridentifikasi, penyakit apa sebenarnya.

Kemudian pada minggu ke-tiga, seorang dokter yang menangani istri saya menemui saya dan bertanya, “Pak Jamil, kami minta izin kepada pak Jamil untuk mengganti obat istri bapak.”

“Dok, kenapa hari ini dokter minta izin kepada saya, padahal setiap hari saya memang gonta-ganti mencari obat untuk istri saya, lalu kenapa hari ini dokter minta izin ?”
“Ini beda pak Jamil. Obatnya lebih mahal dan obat ini nantinya disuntikkan ke istri bapak.”

“Berapa harganya dok?”

“Obat untuk satu kali suntik 12 juta pak.”

“Satu hari berapa kali suntik dok?”

“Sehari 3 kali suntik.”

“Berarti sehari 36 juta dok?”

“Iya pak Jamil.”

“Dok, 36 juta bagi saya itu besar sedangkan tabungan saya sekarang hampir habis untuk menyembuhkan istri saya. Tolong dok, periksa istri saya sekali lagi. Tolong temukan penyakit istri saya dok.”

“Pak Jamil, kami juga sudah berusaha namun kami belum menemukan penyakit istri bapak. Kalau pak Jamil tahu, kami sudah mendatangkan perlengkapan dari Cipto dan banyak laboratorium namun penyakit istri bapak tidak ketahuan.”

“Tolong dok…., coba dokter periksa sekali lagi. Dokter yang memeriksa dan saya akan berdoa kepada Rabb saya. Tolong dok dicari”

“Pak jamil, janji ya kalau setelah pemeriksaan ini kami tidak juga menemukan penyakit istri bapak, maka dengan terpaksa kami akan mengganti obatnya.” Kemudian dokter memeriksa lagi.

“Iya dok.”

Setelah itu saya pergi ke mushola untuk shalat dhuha dua rekaat. Selesai shalat dhuha, saya berdoa dengan menengadahkan tangan memohon kepada Allah, -setelah memuji Allah dan bershalawat kepada Rasululloh, “Ya Allah, ya Tuhanku….., gerangan maksiat apa yang aku lakukan. Gerangan energi negatif apa yang aku lakukan sehingga engkau menguji aku dengan penyakit istriku yang tak kunjung sembuh. Ya Allah, aku sudah lelah. Tunjukkanlah kepadaku ya Allah, gerangan energi negatif apakah yang aku lakukan sehingga istriku sakit tak kunjung sembuh ? sembuhkanlah istriku ya Allah. Bagimu amat mudah menyembuhkan penyakit istriku semudah Engkau mengatur milyaran planet di muka bumi ini ya Allah.”

Kemudian secara tiba-tiba ketika saya berdoa, “Ya Allah, gerangan maksiat apa yang pernah aku lakukan? Gerangan energi negatif apa yang aku lakukan sehingga aku diuji dengan penyakit istriku tak kunjung sembuh?” saya teringat kejadian berpuluh-puluh tahun yang lalu, yaitu ketika saya mengambil uang ibu sebanyak 125 rupiah.

Dulu, ketika kelas 6 SD, Spp saya menunggak 3 bulan. Pada waktu itu Spp bulanannya adalah 25 rupiah. Setiap pagi wali kelas memanggil dan menanyakan saya, “Jamil, kapan mbayar spp ? Jamil, kapan mbayar spp ? Jamil, kapan mbayar spp ?” malu saya. Dan ketika waktu istrirahat saya pulang dari sekolah, saya menemukan ada uang 125 rupiah di bawah bantal ibu saya. Saya mengambilnya. 75 rupiah untuk membayar Spp dan 50 rupiah saya gunakan untuk jajan.

Saya kemudian bertanya, kenapa ketika berdoa, “Ya Allah, gerangan maksiat apa? Gerangan energi negatif apa yang aku lakukan sehingga penyakit istriku tak kunjung sembuh?” saya diingatkan dengan kejadian kelas 6 SD dulu ketika saya mengambil uang ibu Padahal saya hampir tidak lagi mengingatnya ??. Maka saya berkesimpulan mungkin ini petunjuk dari Allah. Mungkin inilah yang menyebabkan istri saya sakit tak kunjung sembuh dan tabungan saya hampir habis.

Setelah itu saya menelpon ibu saya, “Assalamu’alaikum ma…”

“Wa’alaikumus salam mil….” Jawab ibu saya.

“Bagaimana kabarnya ma ?”

“Ibu baik-baik saja mil.”

“Trus, bagaimana kabarnya anak-anak ma ?”

“Mil, mama jauh-jauh dari Lampung ke Bogor untuk menjaga anak-anakmu. Sudah kamu tidak usah memikirkan anak-anakmu, kamu cukup memikirkan istrimu saja. Bagaimana kabar istrimu mil, bagaimana kabar Ria nak ?” –dengan suara terbata-bata dan menahan sesenggukan isak tangisnya-.

“Belum sembuh ma.”

“Yang sabar ya mil.”

Setelah lama berbincang sana-sini –dengan menyeka butiran air mata yang keluar-, saya bertanya, “Ma…, mama masih ingat kejadian beberapa tahun yang lalu ?”

“Yang mana mil ?”

“Kejadian ketika mama kehilangan uang 150 rupiah yang tersimpan di bawah bantal ?”

Kemudian di balik ujung telephon yang nun jauh di sana, mama berteriak, -ini yang membuat bulu roman saya merinding setiap kali mengingatnya- “Mil, sampai mama meninggal, mama tidak akan melupakannya.” -suara mama semakin pilu dan menyayat hati-, “Gara-gara uang itu hilang, mama dicaci-maki di depan banyak orang. Gara-gara uang itu hilang mama dihina dan direndahkan di depan banyak orang. Pada waktu itu mama punya hutang sama orang kaya di kampung kita mil. Uang itu sudah siap dan mama simpan di bawah bantal namun ketika mama pulang, uang itu sudah tidak ada. Mama memberanikan diri mendatangi orang kaya itu, dan memohon maaf karena uang yang sudah mama siapkan hilang. Mendengar alasan mama, orang itu merendahkan mama mil. Orang itu mencaci-maki mama mil. Orang itu menghina mama mil, padahal di situ banyak orang. rasanya mil. Mamamu direndahkan di depan banyak orang padahal bapakmu pada waktu itu guru ngaji di kampung kita mil tetapi mama dihinakan di depan banyak orang. SAKIT. SAKIT. SAKIT rasanya.”


Dengan suara sedu sedan setelah membayangkan dan mendengar penderitaan dan sakit hati yang dialami mama pada waktu itu, saya bertanya, “Mama tahu siapa yang mengambil uang itu ?”

“Tidak tahu mil…mama tidak tahu.”

Maka dengan mengakui semua kesalahan, saya menjawab dengan suara serak, “Ma, yang mengambil uang itu saya ma….., maka melalui telphon ini saya memohon keikhlasan mama. Ma, tolong maafkan jamil ma…., jamil berjanji nanti kalau bertemu sama mama, jamil akan sungkem sama mama. Maafkan saya ma, maafkan saya….”

Kembali terdengar suara jeritan dari ujung telephon sana, “Astaghfirullahal ‘Azhim….. Astaghfirullahal ‘Azhim….. Astaghfirullahal ‘Azhim…..Ya Allah ya Tuhanku, aku maafkan orang yang mengambil uangku karena ia adalah putraku. Maafkanlah dia ya Allah, ridhailah dia ya Rahman, ampunilah dia ya Allah.”

“Ma, benar mama sudah memaafkan saya ?”

“Mil, bukan kamu yang harus meminta maaf. Mama yang seharusnya minta maaf sama kamu mil karena terlalu lama mama memendam dendam ini. Mama tidak tahu kalau yang mengambil uang itu adalah kamu mil.”

“Ma, tolong maafkan saya ma. Maafkan saya ma?”

“Mil, sudah lupakan semuanya. Semua kesalahanmu telah saya maafkan, termasuk mengambil uang itu.”

“Ma, tolong iringi dengan doa untuk istri saya ma agar cepat sembuh.”

“Ya Allah, ya Tuhanku….pada hari ini aku telah memaafkan kesalahan orang yang mengambil uangku karena ia adalah putraku. Dan juga semua kesalahan-kesalahannya yang lain. Ya Allah, sembuhkanlah penyakit menantu dan istri putraku ya Allah.”

Setelah itu, saya tutup telephon dengan mengucapkan terima kasih kepada mama. Dan itu selesai pada pukul 10.00 wib, dan pada pukul 11.45 wib seorang dokter mendatangi saya sembari berkata, “Selamat pak jamil. Penyakit istri bapak sudah ketahuan.”

“Apa dok?”

“Infeksi prankeas.”

Saya terus memeluk dokter tersebut dengan berlinang air mata kebahagiaan, “Terima kasih dokter, terima kasih dokter. Terima kasih, terima kasih dok.”

Selesai memeluk, dokter itu berkata, “Pak Jamil, kalau boleh jujur, sebenarnya pemeriksaan yang kami lakukan sama dengan sebelumnya. Namun pada hari ini terjadi keajaiban, istri bapak terkena infeksi prankeas. Dan kami meminta izin kepada pak Jamil untuk mengoperasi cesar istri bapak terlebih dahulu mengeluarkan janin yang sudah berusia 8 bulan. Setelah itu baru kita operasi agar lebih mudah.”

Setelah selesai, dan saya pastikan istri dan anak saya selamat, saya kembali ke Bogor untuk sungkem kepada mama bersimpuh meminta maaf kepadanya, “Terima kasih ma…., terima kasih ma.”. Namun…., itulah hebatnya seorang ibu. Saya yang bersalah namun justru mama yang meminta maaf. “Bukan kamu yang harus meminta maaf mil, mama yang seharusnya minta maaf.”

Pesan pak Jamil di akhir kisah, “Kalau kita punya kesalahan sama mama kita, maka mintalah maaf kepadanya, dan jangan menunggu waktu lebaran. Kenapa istri saya sakit tidak kunjung sembuh dan uang tabungan saya habis ? karena itu terkuras oleh energi negatif saya berupa mengambil uang. Uang itu memang tidak seberapa, 125 rupiah namun karena energi dicaci, direndahkan dan diremehkan di depan banyak orang terkumpul menjadi satu dan itu sangat membuat ibu saya tersiksa, dan mungkin mendoakan kejelekan kepada orang yang mengambil uangnya, maka hal itu sudah cukup menguras uang tabungan saya dan ujian berupa sakitnya istri yang tidak kunjung sembuh. Energi negatif berbuah negatif dan energi positif berbuah positif.

Kisah di atas disampaikan oleh pak Jamil Zaini (Trainer Asia Tenggara), Kubik, Jakarta. Dalam acara buka bersama dengan tema, “Inspiring the Spirit of Life.” Dan bertempat di madrasah al-Azhar, Solo Baru, 20 Oktober 2006.

Ali bin Abi Thalib pernah berkata, “Berhati-hatilah kalian terhadap do’anya ke dua orang tua karena do’a mereka bisa menambah rizki dan memulihkan penyakit, atau mendatangkan malapetaka dan mengundang bencana.” (Thobaqotus Syafi’iyyah Al-Kubro : 2/328-329 dan At-Tawwabin : 1/237-241).

Menyambut Ramadhan 1431 H / 2010 M

Bila boleh dimisalkan ramadhan laiknya tamu yang sangat mulia. Kedatangannya begitu dinanti-nanti dan ditunggu-tunggu. Sebab ramadhan adalah bulan yang penuh keberkahan dan ampunan.

Ramadhan menawarkan begitu banyak keutamaan untuk diraih. Banyak pahala yang dapat direngkuh dan begitu banyak ampunan yang dapat digapai di dalamnya. Dan puncak dari itu semua adalah pembebasan dari api neraka.

Maka tidaklah salah apabila rasulullah bersabda:

رَغِمَ أَنْفُ عَبْدٍ دَخَلَ عَلَيْهِ رَمَضَانَ لَمْ يُغْفَرْ لَهُ

“Celakalah seseorang hamba apabila dia bertemu dengan ramadhan akan tetapi tidak diampuni dosanya.”

Hal ini dikarenakan banyaknya amalan yang dimudahkan oleh Allah untuk pelaksanaannya, akan tetapi dia tidak dapat memanfaatkannya dengan sebaik-baiknya. Karenanya, semakin siap seorang menyambut ramadhan, maka sesiap itulah dia akan mendapatkan kebaikan yang sangat banyak.

Dan kini, tak terasa kita sudah berada di pertengahan bulan Sya’ban. Itu berarti bahwa ramadhan akan menghampiri kita dalam hitungan hari. Namun, sudah seberapa siapkah kita menyambut ramadhan?

Mungkin di antara kita ada yang sadar akan datangnya tamu yang mulia itu. Namun kesadaran itu belum sampai pada tahap bagaimana mempersiapkan diri hingga benar-benar siap menjemput Ramadhan dan menghidupkannya dengan berbagai amalan.

Karenanya, sebelum ramadhan datang menghampiri, kita perlu mempersiapkan diri untuk menyambutnya. Setidaknya ada beberapa hal yang perlu kita persiapkan dalam menyambut ramadhan tahun ini:

Persiapan pertama : Persiapan mental.

Persiapan mental ini lebih terkait dengan bagaimana kita mempersiapkan mental dengan memupuk kerinduan dalam hati. Tak lupa kita juga sembari berazzam untuk memaksimalkan detik demi detik ramadhan yang akan kita lalui. Tentunya dengan meniatkan untuk melaksanakan amal sebanyak-banyaknya.

Persiapan mental ini juga dengan berdoa kepada Allah agar dikarunia istiqomah dan keteguhan hati ketika bertemu dengan bulan ramadhan. Mempersiapkan mental untuk menghadapi ramadhan sangatlah penting. Sebab, jika mental kita kuat, seberat apapun ujian yang akan dihadapi tidak akan menggoyahkan langkah. Juga akan menjadikan pekerjaan yang kita jalani akan terasa ringan. Bukankah begitu?

Persiapan kedua : persiapan fisik dan ruhiyah .

Persiapan ruhiyah ini dengan mulai menempa diri untuk memperbanyak ibadah. Misalnya saja tilawah Al-Qur’an, sholat sunnah, dzikir, doa, dan lain-lain. Tak lupa mulai menghidupkan malam dengan shalat tahajud. Serta melatih diri untuk melaksanakan puasa sunnah.

Dalam sebuah hadits ibunda ‘Aisyah meriwayatkan bahwa menjelang Ramadhan Rasulullah memiliki kebiasaan memperbanyak shaum sunnah di ublan sya’ban. Beliau berkata: “Saya tidak melihat Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam menyempurnakan puasanya, kecuali di bulan Ramadhan. Dan saya tidak melihat dalam satu bulan yang lebih banyak puasanya kecuali pada bulan Sya’ban” (HR Muslim)”.

Persiapan ketiga : persiapan ilmiyah fikriyah.

Persiapan ilmiyah fikriyah ini dilakukan dengan menambah ilmu berkaitan tentang ramadhan. Apa-apa yang dapat membatalkan ramadhan, amalan-amalan sunnah di bulan ramadhan, keutamaan ramadhan, dan bagaimana memanfaatkan ramadhan.

Sehingga, ketika ramadhan kita tidak hanya mendapatkan lapar dan dahaga saja. Tentunya semua itu perlu dilandasi dengan ilmu. Tanpanya kita bisa terjatuh kepada amalan yang tidak disunnahkan oleh Rasulullah saw.

Alih-alih mendapatkan pahala, malah mendapatkan dosa. Karenanya kita dapat kembali mereview pengetahuan kita tentang ramadhan. Atau mencari buku-buku tentang ramadhan dan menjadikannya sebagai bahan bacaan dan bekal dalam mengarungi bulan ramadhan.

Persiapan keempat : persiapan finansial

Acap kali puasa yang dilakukan akan terganggu kekhusyukannya karena permasalahan yang kita anggap sepele. Salah satunya adalah persiapan finansial.

Karenanya, mempersiapkan materi yang halal untuk bekal menjalani ramadhan juga mutlak diperlukan. Terlebih apabila nantinya akan memaksimalkan sepuluh hari terakhir dengan kegiatan i’tikaf.

Sehingga ketika ramadhan tiba, kita dapat fokus beribadah. Tak perlu lagi memforsir tenaga untuk mencari harta atau kegiatan lain yang mengganggu fokus beribadah.

Mungkin, ramadhan tahun ini bukanlah yang pertama bagi kita. Sudah belasan atau puluhan kali kita melaluinya. Yang menjadi pertanyaan, sudah berapa banyak kita menyambut datangnya ramadhan dan menjadikannya sebagai tamu yang istimewa?

Bisa jadi ramadhan yang telah kita lewati hanya berlalu tanpa makna dan bekasnya. Jika itu yang terjadi, tidak salah apabila kita berazzam untuk menjadikan Ramadhan di tahun ini begitu berarti. Jangan sampai terlewa begitu saja seperti tahun-tahun sebelumnya.

Rasanya, tiada kata terlambat sebelum semuanya terjadi!

Oleh: Firmansyah

Terinspirasi tulisan Alfin Falihian

Sekretaris Umum YISC Al-Azhar 2008-2009

INDAHNYA MALAM PERTAMA

Acara ini terinspirasi setelah mengikuti acara, “Life Management Training” bersama pak Kiseno, yang sedikit banyak merubah kehidupanku; Bagaimana aku harus menjalani hidup ini dengan baik dan bagaimana pula seharusnya aku bermuamalah; menjalin hubungan baik dengan Allah dan manusia. Ada energi spiritual yang menggugah diri ini; sehingga terdetik dalam benak untuk mengadakan acara serupa kepada anak-anak didikku. Menularkan ilmu yang didapat agar lebih bermanfaat.

Acara itu terjadi pada malam jum’at, tepatnya pada 12 Juni 2009 kemarin. Acara itu bertajuk “Malam Pertama.” Acara yang sangat special karena aku menyiapkan mental dan ruhiyah selama sebulan lamanya, dengan satu asa; semoga acara berlangsung sempurna dan berkesan bagi mereka. Dan tepat pada pukul 03.00, aku membangunkan anak-anak untuk bangun dari tidurnya. Ada perasaan tersendiri ketika itu, semua anak-anak sangat antusias menyambutnya, tidak seperti biasanya. Semangat mengikuti acara yang membuat mereka penasaran, karena memang aku tidak memberitahukan detailnya acara kepada mereka sebelumnya.

Setelah berwudhu, kami shalat malam bersama beberapa raka’at di lantai bawah masjid. Selesai shalat, aku mengintruksikan mereka untuk menutup mata dan meminta dengan sangat agar tidak ada yang berbicara, walaupun sepatah kata. Mereka berbaris memanjang, dengan formasi anak yang di belakang memegang pundak teman di depannya. Saat itulah, acara dimulai. Aku pun tak lupa mengajak mereka untuk banyak beristighfar kepada Allah Ta’ala. Astaghfirullahal ‘Azhim….astaghfirullahal ‘Azhiim….


Karena mata mereka tertutup, aku memandu mereka dengan berjalan tertatih-tatih dan derapan kaki yang berat dengan hentakan yang keras seolah-olah seorang pesakitan yang akan menghadapi siksaan. Hati mereka tidak karuan mendengarkan suara derapan kakiku yang terdengar keras dan menyeramkan, apalagi mereka tidak tahu apa yang akan mereka alami. Ketakutan yang melanda mereka semakin terasa karena didukung dengan dinginnya kota soreang pada malam itu, dingin menusuk tulang. Kata mereka, acara malam itu terasa sangat menegangangkan, menakutkan, mengharukan sekaligus menyedihkan…, karena itulah acara pertama mereka yang bertajuk malam pertama.

Setelah tiba di lokasi yang dimaksud, aku memandu mereka satu per satu untuk menempati tempat duduk yang tersedia; persis di depan kertas Hvs dan lilin yang sudah disiapkan panitia untuk masing-masing anak dengan keadaan mata mereka masih tertutup. Setelah duduk dengan tenang, aku masih mengingatkan mereka banyak beristighfar. Aku pun memulai berorasi,

“Wahai saudara-saudaraku yang aku sayangi dan aku cintai…. Suatu ketika, Yani diajak oleh ayahnya untuk mengunjungi wilayah pemakaman umum kaum muslimin di kota metropolitan, Jakarta. Mereka berputar sejenak dan kemudian mendapatkan makam yang dicari. Mereka duduk di depan seonggok nisan, “Hj. Muthia binti Muhammad, Lahir : 19 Januari 1915, Meninggal : 20 Januari 1965.”

Ayah Yani berkata, “Nak, ini adalah kuburan nenekmu, mari kita berdoa untuk kebaikan nenekmu.” Yani melihat wajah ayahnya, lalu menirukan tangan ayahnya menengadah ke atas dan memejamkan matanya seperti halnya ayahnya. Ia mendengarkan doa ayahnya untuk neneknya.

Selesai berdoa, Yani bertanya, “Yah, nenek waktu meninggal berumur 50 tahun ya Yah ?” Ayahnya mengangguk sambil tersenyum sembari memandang pusara ibunya, Hj. Muthia.

“Hm, berarti nenek sudah meninggal 44 tahun yang lalu ya, Yah ?” kata Yani berlagak dengan menghitung dengan jarinya, “Ya, nenekmu sudah di dalam kubur selama 44 tahun…”jawab ayahnya

Yani memutar otaknya, memandang sekeliling, banyak kuburan di sana, di samping kuburan neneknya ada kuburan tua berlumut, “Muhammad Zaini, Lahir : 19 Februari 1804, Meninggal : 30 Januari 1910.”

“Hmm, kalau begitu, yang itu sudah meninggal 109 tahun yang lalu ya Yah ?” jarinya menunjuk nisan di di samping kuburan neneknya. Sekali lagi ayahnya mengangguk, tangannya terangkat mengelus kepala anaknya satu-satunya sembari menatap teduh mata anaknya dan berkata, “Memangnya kenapa nak ?”

“Hmm, ayah semalam bilang bahwa kalau kita mati, lalu dikubur dan kita banyak dosanya, kita akan disiksa. Dan ditempatkan pada parit dari parit-parit neraka. Begitu sebaliknya, kalau amal shalih kita banyak, kita akan mendapatkan kenikmatan dan tinggal di sebuah taman dari taman-taman jannah. Iya kan Yah ?” Yani meminta persetujuan ayahnya.

Ayahnya tersenyum dan bertanya, “Lalu ?” “Ya…kalau nenek banyak dosanya, berarti nenek sudah disiksa selama 44 tahun dong yah di kubur ? tetapi kalo nenek banyak amal shalihnya berarti sudah 44 tahun pula berada di taman dari taman-taman jannah….ya nggak Yah ?” mata Yani berbinar karena bisa mengemukakan pendapatnya kepada ayahnya.

Ayahnya tersenyum, namun sekilas keningnya Nampak berkerut, tampaknya cemas, “Iya nak, kamu memang pintar.” Kata ayahnya pendek.

Pulang dari pemakaman, ayah Yani tampak gelisah. Setelah pulang, di atas sajadahnya, ayahnya merenungi perkataan anaknya. Lalu ia menunduk dan meneteskan air mata, kalau ia yang meninggal, lalu banyak dosanya, lalu kiamat masih 100 tahun lagi, masih 200 tahun lagi atau mungkin masih 300 tahun lagi ? sanggupkah ia selama itu menanggung derita di dalam kubur. Bukankah setelah bangkit dari kubur, siksa yang lebih dahsyat sudah menanti. Ayah yani tertunduk dan berdoa berulang-ulang, “Allahumma inni as’alukal ‘Afiyah fid dunya wal akhiroh.” Ya Allah, aku memohon kepada-Mu keselamatan dan kebaikan, di dunia dan akherat.

Setelah membacakan kisah tersebut, aku memerintahkan mentor untuk menyalakan lilin dan memerintahkan anak-anak membuka mata. Mereka kaget dan terperanjat ketika melihat lembaran putih yang bergambar nisan lengkap dengan nama mereka, nama ayah mereka dan tempat tanggal lahir mereka. Di tengah kekagetan mereka itulah, aku melanjutkan,

“Saudara-saudaraku yang aku sayangi dan aku cintai….sekarang bayangkanlah kalau seandainya pada malam hari ini kita lah yang meningal dunia. Menjadi mayit. Berada di alam kubur yang demikian pekat, gelap dan mengerikan. Tidak ada yang berani menemani kita, walau ia adalah orang yang terdekat sekalipun. Sendiri dan sepi.

Saudara-saudaraku yang aku sayangi…apakah kita lupa atau pura-pura lupa dengan kenyataan yang akan kita temui nanti, yaitu kematian. Siapakah yang bisa memastikan bahwa kita akan hidup berumur panjang. Padahal bisa jadi setelah malam ini, kita tidak bertemu dengan waktu pagi, tidak bertemu dengan ibu kita, tidak bertemu dengan ayah kita, tidak bertemu dengan kerabat-kerabat kita dan tidak bertemu dengan teman-teman dan orang-orang yang kita cinta.

Ikhwani fillah….suatu ketika khalifah Harun Ar-Rasyid pergi berburu. Kemudian beliau bertemu dengan buhlul. Khalifah berkata, “Wahai Buhlul, berilah aku nasehat.”

Buhlul bertanya“Wahai Harun, di manakah kubur ayah, kakek dan nenek moyangmu ?.”

“Di sana.” Jawab Harun singkat.

Buhlul bertanya “Lantas, di manakah istanamu ?”

“Di sana.” Jawab Harun.

Buhlul berkata, “Wahai Harun, engkau mengatakan kuburan ayah, kakek dan nenek moyangmu berada di sana sedang istanamu berada di sana. Tidakkah anda tahu, anda akan meninggalkan istana itu dan berpindah menuju kubur yang gelap gulita dan sendirian tanpa anak, istri dan harta yang selama ini kamu kumpulkan ? kamu akan berpindah dari istanamu yang menjulang tinggi nan megah menuju kuburan yang sempit.”

Kemudian Harun menangis dan menderita sakit. Hingga ketika sudah merasa ajalnya dekat, Harun mengumpulkan anak, istri dan para pengawal serta tentara istana sembari berkata, “Wahai Dzat yang tidak akan kehilangan kekuasaannya, kasihilah orang yang akan kehilangan kekuasaannya ini.” Lalu Harun meninggal dunia.

Ikhwani fillah…apakah kita mengira bahwa umur kita masih panjang dan menyangsikan datangnya malaikat maut yang siap menjemput kita. Tamu yang datang tanpa diundang. Bila waktunya tiba, ia akan melaksanakan titah Tuhannya, Allah Ta’ala tanpa memajukan dan tanpa memundurkan barang satu detikpun.

Maka, bayangkanlah seolah-olah kita sedang berada di kuburan dan merenungi nasib apa yang akan antum dapatkan di sana. Berada di salah satu taman dari taman-taman surga atau parit dari parit-parit neraka.

Setelah waktu merenung usai, aku memerintahkan mereka untuk membalik lembar nisan yang berisi pertanyaan-pertanyaan muhasabah. Dan memerintahkan mereka mengisinya. Di sela-sela mereka mengerjakan, aku mengingatkan mereka sesuai dengan urutan pertanyaan tersebut.

Pertanyaan pertama, “Amal apa yang sudah antum lakukan ?”

Aku melanjutkan,

Saudara-saudaraku yang aku sayangi dan aku cintai..…

Sekarang mari kita merenung, amalan apakah yang sudah kita persiapkan untuk menghadap Allah Subhanahu wa Ta’ala ? sudahkah kita siap untuk menghadap-Nya. Mari kita juga merenung, amalan apakah yang sudah kita lakukan sesuai dengan keinginan dan perintah Allah dan Rosul-Nya ? apakah amal shalih kita sudah kita iringi dengan perasaan khauf ( rasa takut), raja’ (rasa berharap) dan mahabbah (rasa cinta) ? adakah kita berani menjamin diri kita terlepas dari siksa Allah Ta’ala? Apakah kita sudah melupakan dosa-dosa kita. Dosa mata kita, dosa tangan kita, dosa kaki kita, dosa lisan kita, dan bahkan dosa hati kita ?

Tak terasa, ada beberapa ikhwah yang meneteskan air mata dan berusaha menyembunyikan sesenggukan isak tangisnya. Keheningan malam itu dipecahkan dengan suara isak tangis yang tertahan. Kita bisa memaklmi bila kita membaca jawaban mereka,

“Saya tidak tahu amal kebaikan apa yang telah saya lakukan. Yang jelas, begitu sedikit amal kebaikan yang aku lakukan sedang dosa saya sangat banyak.”

“Selama ini mungkin amal yang saya lakukan sangat sedikit, bahkan tidak ada apa-apanya bila dibandingkan dosa-dosa yang telah saya lakukan. Mungkin amal saya belum cukup untuk menebus semua dosa-dosa yang telah aku lakukan.” Astaghfirullahal ‘Azhim…..

Pertanyaan kedua, “Apa pesan antum kepada orang-orang yang antum cintai, ayah, ibu dan teman-teman antum ?”

Aku melanjutkan,

Ikhwani fillah….sekarang hadirkanlah bayangan orang-orang yang kita cintai, ibu dan ayah antum. Bayangkanlah wajah ibu dan ayah antum. Hadirkanlah kenangan-kenangan indah bersama mereka. Mari kita sejenak mengingat jasa-jasa mereka. Mengingat masa ketika kita masih dalam kandungan. Lupakah kita tentang berat tubuh kita yang dipikul oleh ibu kita ? selama kurang lebih Sembilan bulan 10 hari lamanya, ibu senantiasa membawa kita kemanapun beliau pergi. Dan Allah menyebut kesusahan yang dialami ibu kita saat mengandung dengan bahasa wahnan ‘ala wahnin, kesusahahan di atas kesusahan, kesulitan di atas kesulitan, kepayahan di atas kepayahan, yang bertambah-tambah. Memang demikian adanya. Ingatkah kita ketika di malam hari kita menangis, lalu ibu kita terbangun untuk menenangkan dan menidurkan kita lagi setelah selesai menunaikan hajat kita. Ingatkah kita ketika kita makan dan disuapi oleh ibu kita. Ketika kita mandi dan kita meraung-raung karena tidak ingin mandi. Ingatkah juga ketika ibu kita mengajari kita, “A…Ba…Ta…Tsa…” dengan kesabaran yang sangat tinggi. Ingatkah kita bahwa tatkala kita sedang sakit, ibu lah orang yang paling gundah dan gelisah.

Saudara-saudaraku yang aku sayangi dan aku cintai….

Sekarang, bayangkanlah wajah ayah kita. Tidakkah kita memahami bahwa hitamnya warna kulitnya dan berkeriputnya wajahnya adalah karena pengorbanannya yang tidak kenal lelah dalam mencari nafkah untuk kehidupan sehari-hari dan menyekolahkan kita. Itu semua dilakukan demi kita, anaknya. Orang tua kita ingin agar kita lebih pintar, lebih tiggi jenjang sekolahnya, lebih arif, lebih bahagia, lebih banyak mendapatkan ilmu-ilmu agama dan lebih bijaksana dalam memecahkan problem kehidupan yang akan kita dapatkan dan lebih bijaksana dalam mengambil sebuah keputusan. Itulah ayah kita. Ia curahkan semua pengorbanannya kepada kita. Sekalipun sakit, ia tetap bekerja dan tidak memperdulikan rasa sakitnya asal kita mendapatkan kecukupan hidup. Semuanya demi kita ya ikhwati…,

Dan bayangkan juga teman-teman kita di mana mereka juga ikut andil dalam merubah pribadi kita menjadi pribadi yang indah. Teman-teman kita juga memiliki peran besar dalam melatih tanggungjawab, kebersamaan dan rasa persaudaraan. Adakah kita melupakannya ?

Tak terasa, ada yang tidak kuasa menahan tangis yang semenjak tadi ditahannya. Suasana semakin menampakkan keharuan. Malam yang tadi terasa hening menjadi bergemuruh dengan isak tangis anak-anak didikku. Keharuan yang juga membuat bulu kudukku merinding. Mengenangkan masa-masa kecil adalah pengalaman tak terlupakan. Betapa banyak jasa ayah-ibu dan teman-teman. Bernostalgia dengan orang yang paling kita cinta; ibu dan ayah akan memantik emosional kita sehingga seolah kita tersadarkan dan diingatkan oleh jasa-jasa mereka; di samping juga mengingatkan betapa seringnya kita melukai perasaan mereka padahal kita belum pernah membahagiakaannya. Kita bisa memahami gejolak emosi dan perasaan mereka dengan melihat jawaban-jawaban mereka;

Ayah, maafkan atas apa yang telah aku lakukan pada ayah. Selama ini, aku sering sekali menyakitimu, aku sering membantah, aku sering marah-marah. Maafkan atas semua perbuatanku selama ini, maafkan aku ayah….., Aku juga minta maaf pada ibu jika aku tidak berterima kasih atas apa yang ibu berikan, maafkan aku ibu jika aku selalu menjadi beban bagimu…maafkan aku ibu….jika aku selalu menyakitimu…Teman-teman, maafkan aku karena aku sering menyakitimu. Mungkin aku ini orang yang tidak mau berterima kasih pada teman-teman. Maafkan aku…”

Jawaban serupa yang mereka tulis, “Ibu, engkau wanita mulia, ingin sekali anakmu ini memelukmu dan menciummu. Berjuanglah, doakanlah aku ibu agar aku menjadi anak yang sholeh-sholehah supaya kita bisa berkumpul kembali di akherat nanti. Semoga pengorbananmu dibalas oleh Allah dengan jannah dan dosa-dosamu diampuni. Terima kasih ibu….terima kasih atas semua pengorbananmu. Terima kasih ibu….,

Pertanyaan ketiga : Sudahkan kita membalas jasa kedua orang tua kita, minimal dengan banyak mendoaan mereka ?

Pertayaan keempat : Sudahkah kita banyak beristighfar kepada Allah atas dosa-dosa kita ?”

Pertanyaan kelima : Siapakah yang akan mendoakan kita ketika kita sudah meninggal dunia ?”

Aku melanjutkan,

Saudara-saudaraku yang aku sayangi…..

Kalau kita sudah mengenang kenangan-kenangan indah bersama ayah dan ibu kita dan pengorbanan mereka yang tidak kenal lelah. Mari kita merenung sejenak, sudahkah kita membalas jasa-jasa mereka, minimal adalah dengan banyak berdoa ?

Ikhwani fillah….Mari kita banyak melantunkan doa yang dituntunkan oleh Rosululloh untuk kedua orang tua kita, -dengan suara terbata-bata saya memandu mereka untuk berdoa;

رب اغفر لي ولوالدي وارحمهما كما ربياني صغيرا

رب اغفر لي ولوالدي وارحمهما كما ربياني صغيرا

”Duhai Allah, ya Allah, ya Tuhanku….ampunilah aku dan kedua orang tuaku. Dan kasihilah mereka sebagaimana mereka mendidikku sewaktu aku kecil.”

”Ya Allah, ya Tuhanku….ampunilah aku dan kedua orang tuaku. Dan kasihilah mereka sebagaimana mereka mendidikku sewaktu aku kecil.”

Acara ini terpaksa berhenti sampai di sini lantaran waktu shalat shubuh sudah mendekati. Terasa spesial mengerjakan shalat shubuh setelah acara itu usai.

Ada tulisan indah dari salah seorang anak didikku yang menuliskan sebuah pesan dan kesan yang akan selalu ku kenang, “Sangat menjunjung tinggi rasa cinta kepada orang tua lebih terasa ikatan hati, saat engkau tunjukkan kepada kami sesuatu yang mungkin, sebelumnya kami belum pernah mendapatkannya.”

Tahukah kita betapa mereka sangat terkesan dengan acara yang membuat mereka menitikkan air mata ini. Inilah sekelumit komentar yang saya dapatkan dari mereka,

Pesan :

Pesan untuk ustadz, ustadz jangan melupakan ana dan teman-teman. Coz, ustadz akan selalu terkenang dalam memori harian ana karena ustadz itu terlalu BAIK….BAIK…..banget. oh ya ustadz, doain ana ya kalau nanti ana sudah meninggal dunia. Supaya bisa masuk jannah. Dan ana akan mendoakan ustadz agar dosa-dosa ustadz diampuni bila nanti sudah meninggal dan masuk jannah. Supaya ustadz, ana, teman-teman atau mungkin anak dan cucu ustadz nanti berkumpul di jannah.

Allah….Allah…..Amin ya Allah, kabulkanlah doa-doa kami.

Kesan :

Acara kemarin seru banget. Selain seru, acaranya juga menegangkan, menakutkan dan menyedihkan. Dengan di adakannya acara kemarin, ana bisa menyadari kalau selama ini amal yang ana lakukan tidak ada apa-apanya, bahkan ana sendiri tidak tahu amal apa yang bisa ana banggakan, justru malah dosa dan maksiat yang sering ana lakukan. Mudah-mudahan setelah acara kemarin, ana bisa lebih berhati-hati dalam mengerjakan segala sesuatu.

Bagi ana, itu adalah suatu pengalaman yang menakjubkan sampai-sampai ana meneteskan air mata. Sekarang Insya’ Allah ana mengerti bagaimana harus bersikap pada orang tua dan orang-orang yang pernah saya kenal. Karena saya sadar hidup tak kan selamanya saya jalani. TERIMA KASIH ustadz, mungkin bisa jadi tulisan ini, pertemuan ini, yang terakhir untuk ustadz dengan ana dan bisa jadi kita tak kan pernah bertemu lagi ! Good luck untuk ustadz….acaranya seru dan mengharukan.


Ada satu pelajaran penting yang saya dapatkan, bila sebuah pengalaman berkesan bagi kita maka ia juga akan berkesan bagi orang lain. Terus terang, jawaban saya sama dengan jawaban mereka tatkala mengikuti kegiatan serupa.

Bahkan, setelah acara itu, selalunya saya merasa malu. Malu dengan diri saya sendiri. Dan tatkala hati ini keras membantu, mengingat kenangan malam itu adalah salah satu cara memperbarui iman dan menghadirkan kembali semangat mengisi hidup dengan kebaikan dan ketaan.

اللهم لاتؤخذني بما يقولون واجعلني خيرا مما يظنون

Akhi….ukhti…..

Selalunya kita mengidentikkan malam pertama sebagai malam kebahagiaan bersama suami atau istri tercinta. Memang begitulah kenyataannya. Namun kita juga harus jujur; jujur kepada Allah dan diri kita sendiri. Bagaimana reaksi kita bila ternyata malam itu berubah menjelma menjadi malam pertama di dalam liang kubur yang gelap, pekat, sempit dan menyeramkan. Sendirian. Tiada kawan, tiada teman.

Tempat yang membuat Rosululloh melinangkan air matanya tatkala melihat ada seseorang yang dikuburkan; dengan berpesan kepada umatnya tercinta, “Li mitsli hadza, falya’malil ‘amilun….menghadapi hari seperti inilah, hendaknya seseorang beramal.”

Tempat yang juga membuat Utsman bin Affan berhenti sejenak sembari membayangkan apa yang terjadi dalam kubur; antara nikmat dan siksa, hingga beliau menangis dan berkata, “Aku pernah mendengar Rosululloh saw bersabda, “Kubur adalah salah satu taman dari taman-taman jannah, atau parit dari parit-parit neraka.”

Tempat yang juga membuat Harun Ar-Rasyid jatuh sakit hingga menyebabkan kematiannya. Dan tatkala ajalnya sudah hampir tiba, ia berkata, “Ya man la yazulu mulkuhu, irham man zala mulkuhu…Duhai dzat yang kekuasaannya tidak akan pernah hilang, kasihilah hamba yang akan kehilangan kekuasaanya.”

Tempat yang juga dijadikan rehat oleh salah seorang salaf tatkala ia mendapati kekerasan hatinya. Ia menggali lubang di dalam rumahnya. Tatkala tengah malam tiba, ia bangun dan tidur di pekuburan buatannya sembari berkata kepada dirinya sendiri, “Wahai jiwa, apa yang engkau inginkan sekarang? Aku ingin kembali ke dunia. Aku ingin banyak beramal shaleh” ia pun bangkit dan tumbuh semangat imannya.

Begitulah generasi terbaik umat ini membangkitkan spirit imannya. Terkadang satu kuburan lebih dahsyat dan berkesan dalam jiwa dari ribuan materi pelajaran yang didapatkan. Adakah kita memungkiri kenyataan bahwa kita akan melewatinya ? tetangga, saudara, kerabat dan orang-orang yang kita cinta pergi satu per satu meninggalkan kita namun kita lupa atau pura-pura terhadap kenyataan yang pasti akan kita temui nanti.

Sudah siapkah kita kalau pada saat ini; pagi, siang atau malam ini kita melalui malam pertama di kubur kita ?? Allahumma inna nas’alukal ‘afiyah, fid dunya wal akhirah….

Kegiatan ini diuji cobakan kepada anak-anak YUPPI, soreang pada 12 Juni 2009.

Mungkin, itulah kenangan terindah yang sulit kulupakan.

Kenangan INDAHNYA MALAM PERTAMA.

Akhukum fillah, Ibnu Abdul Bari el-‘Afifi. Jazakumullah…..

SURAT CINTA UNTUKMU AKHI..

Malam telah larut terbentang. Sunyi. Dan aku masih berfikir tentang dirimu, akhi. Jangan salah sangka ataupun menaruh prasangka. Semua semata-mata hanya untuk muhasabah terutama bagi diriku, makhluk yang Rasulullah SAW sinyalirkan sebagai pembawa fitnah terbesar.—Suratmu sudah kubaca dan disimpan. Surat yang membuatku gementar. Tentunya kau sudah tahu apa yang membuatku nyaris tidak boleh tidur kebelakangan ini.

“Ukhti, saya sering memperhatikan anti. Kalau sekiranya tidak dianggap lancang, saya berniat berta’aruf dengan anti.”

Jujur kukatakan bahwa itu bukan perkataan pertama yang dilontarkan ikhwan kepadaku. Kau orang yang kesekian. Tetap saja yang ‘kesekian’ itu yang membuatku diamuk perasaan tidak menentu. Astaghfirullahaladzim. Bukan, bukan perasaan melambung kerana merasakan diriku begitu mendapat perhatian. Tetapi kerana sikapmu itu mencampak ke arah jurang kepedihan dan kehinaan. ‘Afwan kalau yang terfikir pertama kali di benak bukannya sikap memeriksa, tapi malah sebuah tuduhan: ke mana ghaddhul bashar-mu?
Akhifillah, Alhamdulillah Allah mengaruniakan dzahir yang jaamilah. Dulu, di masa jahiliyah, karunia itu sentiasa membawa fitnah. Setelah hijrah, kufikir semua hal itu tidak akan berulang lagi. Dugaanku ternyata salah. Mengapa fitnah ini justeru menimpa orang-orang yang ku hormati sebagai pengemban risalah da’wah ? Siapakah di antara kita yang salah?
***********

“Adakah saya kurang menjaga hijab, ukh?” tanyaku kepada Aida, teman sebilikku yang sedang mengamati diriku. Lama. Kemudian, dia menggeleng.

“Atau baju saya? Sikap saya?”—“Tidak, tidak,” sergahnya menenangkanku yang mulai berurai air mata.

“Memang ada perubahan sikap di kampus ini.”

“Termasuk diri saya?”

“Jangan menyalahkan diri sendiri meskipun itu bagus, senantiasa merasa kurang iman. Tapi tidak dalam hal ini. Saya cukup lama mengenali anti dan di antara kita telah terjalin komitmen untuk saling memberi tausiyah jika ada yang lemah iman atau salah. Ingat?”

Aku mengangguk. Aida menghela nafas panjang.

“Saya rasa ikhwan itu perlu diberi tausiyah. Hal ini bukan perkara baru kan ? Maksud saya dalam meng-cam akhwat di kampus.” Sepi mengembang di antara kami. Sibuk dengan fikiran masing-masing… .

“Apa yang diungkapkan dalam surat itu?”

“Ia ingin berta’aruf. Katanya dia sering melihat saya memakai jilbab putih. Anti tahu bila dia bertekad untuk menulis surat ini? Ketika saya sedang menjemur pakaian di depan rumah ! Masya Allah…. dia melihat sedetail itu.”

“Ya.. di samping itu tempoh masa anti keluar juga tinggi.”

“Ukhti…,” sanggahku, “Anti percaya kan kalau saya keluar rumah pasti untuk tujuan syar’ie?”

“InsyaAllah saya percaya. Tapi bagi anggapan orang luar, itu masalah yang lain.”

Aku hanya mampu terdiam. Masalah ini senantiasa hadir tanpa ada suatu penyelesaian. Jauh dalam hati selalu tercetus keinginan, keinginan yang hadir semenjak aku hijrah bahwa jika suatu saat ada orang yang memintaku untuk mendampingi hidupnya, maka hal itu hanya dia lakukan untuk mencari keridhaan Rabb-nya dan dien-ku sebagai tolok ukur, bukan wajahku. Kini aku mulai risau mungkinkah harapanku akan tercapai?

************

Akhifillah, Maaf kalau saya menimbulkan fitnah dalam hidupmu. Namun semua bukan keinginanku untuk beroleh wajah seperti ini. Seharusnya di antara kita ada tabir yang akan membersihkan hati dari penyakitnya. Telah ku coba dengan segenap kemampuan untuk menghindarkan mata dari bahaya maksiat. Alhamdulillah hingga kini belum hadir sosok putera impian yang hadir dalam angan-angan. Semua ku serahkan kepada Allah ta’ala semata.
Akhi, Tentunya antum pernah mendengar hadits yang tersohor ini. Bahwa wanita dinikahi kerana empat perkara: kecantikannya, hartanya, keturunannya, atau diennya. Maka pilihlah yang terakhir kerana ia akan membawa lelaki kepada kebahagiaan yang hakiki.

Kalaulah ada yang mendapat keempat-empatnya, ibarat ia mendapat syurga dunia. Sekarang, apakah yang antum inginkan? Wanita shalihah pembawa kedamaian atau yang cantik tapi membawa kesialan? Maaf kalau di sini saya terpaksa berburuk sangka bahwa antum menilai saya cuma sekadar fisik belaka. Bila masanya antum tahu bahwa dien saya memenuhi kriteria yang bagus? Apakah dengan melihat frekuensi kesibukan saya? Frekuensi di luar rumah yang tinggi?
Tidak. Antum tidak akan pernah tahu bila masanya saya berbuat ikhlas lillahi ta’ala dan bila masanya saya berbuat kerana riya’. Atau adakah antum ingin mendapatkan isteri wanita cantik yang memiliki segudang prestasi tetapi akhlaknya masih menjadi persoalan? Saya yakin sekiranya antum diberikan pertanyaan demikian, niscaya tekad antum akan berubah.
Akhifillah, Tanyakan pada setiap akhwat kalau antum mampu. Yang tercantik sekalipun, maukah ia diperisterikan seseorang kerana dzahirnya belaka? Jawabannya, insya Allah tidak. Tahukah antum bahwa kecantikan zahir itu adalah mutlak pemberian Allah; Insya Allah antum tahu. Ia satu anugerah yang mutlak yang tidak boleh ditawar-tawar jika diberikan kepada seseorang atau dihindarkan dari seseorang. Jadi, manusia tidak mendapatkannya melalui pengorbanan. Lain halnya dengan kecantikan bathiniyyah. Ia melewati proses yang panjang. Berliku. Melalui pengorbanan dan segala macam pengalaman pahit. Ia adalah intisari dari manisnya kata, sikap, tindak tanduk dan perbuatan. Apabila seorang lelaki menikah wanita kerana kecantikan batinnya, maka ia telah amat sangat menghargai perjuangan seorang manusia dalam mencapai kemuliaan jati dirinya. Faham?

Akhifillah, Tubuh ini hanya pinjaman yang terpulang pada-Nya bila-bila masa mengambilnya. Tapi ruh, kecantikannya menjadi milik kita yang abadi. Kerananya, manusia diperintahkan untuk merawat ruhiyahnya bukan hanya jasmaninya yang boleh usang dan koyak sampai waktunya.

Akhifillah, Kalau antum ingin mencari akhwat yang cantik, antum juga seharusnya menilai pihak yang lain. Mungkin antum tidak memerhatikannya dengan teliti. (Alhamdulillah, tercapai maksudnya untuk keluar rumah tanpa menimbulkan perhatian orang). Pakaiannya sederhana, ia hanya memiliki beberapa helai. Dalam waktu seminggu antum akan menjumpainya dalam jubah-jubah yang tidak banyak koleksinya. Tempoh masanya untuk keluar rumah tidak lama. Ia lebih suka memasak dan mengurus rumah demi membantu kepentingan saudari-saudarinya yang sibuk da’wah di luar. Ia nyaris tidak mempunyai keistimewaan apa-apa kecuali kalau antum sudah melihat shalatnya. Ia begitu khusyu’. Malam-malamnya dihiasi tahajjud dengan uraian air mata. Dibaca Qur’an dengan terisak. Ia begitu tawadhu’ dan zuhud. Ah, saya iri akan kedekatan dirinya dengan Allah. Benar, ia mengenal Rabbnya lebih dari saya. Dalam ketenangannya, ia tampak begitu cantik di mata saya. Beruntung ikhwan yang kelak memperisterikannya… (saya tidak perlu menyebut namanya.)

**********

Malam semakin beranjak. Kantuk yang menghantar ke alam tidur tidak menyerang saat surat panjang ini belum usai. Tapi, sudah menjadi kebiasaanku tidak boleh tidur tenang bila saudaraku tercinta tidak hadir menemani. Aku tergugat apabila merasakan bantal dan guling di samping kanan telah kehilangan pemilik. Rasa penat yang belum ternetral menyebabkan tubuhku terhempas di sofa.

Aida sedang diam dalam kekhusyu’kan. Wajahnya begitu syahdu, tertutup oleh deraian air mata. Entah apa yang terlintas dalam qalbunya. Sudah pasti ia merasakan aku tidak heran saat menyaksikannya. Tegak dalam rakaatnya atau lama dalam sujudnya.

“Ukhti, tidak solat malam? “ tanyanya lembut seusai melirik mata.

“Ya, sekejap,” kupandang wajahnya. Ia menatap jauh keluar jendela ruang tamu yang dibiarkan terbuka. “Dzikrul maut lagi?”

“Khusnudzan anti terlalu tinggi.”

Aku tersenyum. Sikap tawadhu’mu, Aida, menyebabkan bertambah rasa rendah diriku. Angin malam berhembus dingin. Aku belum mau beranjak dari tempat duduk. Aida pun nampaknya tidak meneruskan shalat. Ia kelihatan seperti termenung menekuri kegelapan malam yang kelam.

“Saya malu kepada Allah,” ujarnya lirih.

“Saya malu meminta sesuatu yang sebenarnya tidak patut tapi rasanya keinginan itu begitu mendesak dada. Siapa lagi tempat kita meminta kalau bukan diri-Nya?”

“Apa keinginan anti, Aida?”

Aida menghela nafas panjang.

“Saya membaca buku Syeikh Abdullah Azzam pagi tadi,” lanjutnya seolah tidak menghiraukan. “Entahlah, tapi setiap kali membaca hasil karyanya, selalu hadir simpati tersendiri. Hal yang sama saya rasakan tiap kali mendengar nama Hasan al-Banna, Sayyid Quthb atau mujahid lain saat nama mereka disebut. Ah, wanita macam mana yang dipilihkan Allah untuk mereka? Tiap kali nama Imaad Aql disebut, saya bertanya dalam hati: Wanita macam mana yang telah Allah pilih untuk melahirkannya?”

Aku tertunduk dalam-dalam.

“Anti tahu,” sambungnya lagi, “Saya ingin sekiranya boleh mendampingi orang-orang sekaliber mereka. Seorang yang hidupnya semata-mata untuk Allah. Mereka tak tergoda rayuan harta dan benda apalagi wanita. Saya ingin sekiranya boleh menjadi seorang ibu bagi mujahid-mujahid semacam Immad Aql…”

Air mataku menitis perlahan. Itu adalah impianku juga, impian yang kini mulai kuragui kenyataannya. Aida tak tahu berapa jumlah ikhwan yang telah menaruh hati padaku. Dan rasanya hal itu tak berguna diketahui. Dulu, ada sebongkah harapan kalau kelak lelaki yang mendampingiku adalah seorang mujahid yang hidupnya ikhlas kerana Allah. Aku tak menyalahkan mereka yang menginginkan isteri yang cantik. Tidak. Hanya setiap kali bercermin, ku tatap wajah di sana dengan perasaan duka. Serendah inikah nilaiku di mata mereka? Tidakkah mereka ingin menilaiku dari sudut kebagusan dien-ku?

“Ukhti, masih tersisakah ikhwah seperti yang kita impikan bersama?” desisku.

Aida meramas tanganku. “Saya tidak tahu. Meskipun saya sentiasa berharap demikian. Bukankah wanita baik untuk lelaki baik dan yang buruk untuk yang buruk juga?”

“Anti tak tahu,” air mata mengalir tiba-tiba. “Anti tak tahu apa-apa tentang mereka.”

“Mereka?”

“Ya, mereka,” ujarku dengan kemarahan terpendam. “Orang-orang yang saya kagumi selama ini banyak yang jatuh berguguran. Mereka menyatakan ingin ta’aruf. Anti tak tahu betapa hancur hati saya menyaksikan ikhwan yang qowiy seperti mereka takluk di bawah fitnah wanita.”

“Ukhti!”

“Sungguh, saya terfikir bahwa mereka yang aktif da’wah di kampus adalah mereka yang benar-benar mencintai Allah dan Rasulnya semata. Ternyata mereka mempunyai sekelumit niat lain.”

“Ukhti, jangan su’udzan dulu. Setiap manusia punya kelemahan dan saat-saat penurunan iman. Begitu juga mereka yang menyatakan perasaan kepada anti. Siapa yang tidak ingin punya isteri cantik dan shalihah?”

“Tapi, kita tahukan bagaimana prosedurnya?”

“Ya, memang…”

“Saya merasa tidak dihargai. Saya berasa seolah-olah dilecehkan. Kalau ada pelecehan seksual, maka itu wajar kerana wanita tidak menjaga diri. Tapi saya…. Samakah saya seperti mereka?”

“Anti berprasangka terlalu jauh.”

“Tidak,” aku menggelengkan kepala. “Tiap kali saya keluar rumah, ada sepasang mata yang mengawasi dan siap menilai saya mulai dari ujung rambut -maksud saya ujung jilbab- hingga ujung sepatu. Apakah dia fikir saya boleh dinilai melalui nilaian fisik belaka..”

“Kita berharap agar ia bukan jenis ikhwan seperti yang kita maksudkan.”

“Ia orang yang aktif berda’wah di kampus ini, ukh.”

Aida memejamkan mata. Bisa kulihat ujung matanya basah. Kurebahkan kepala ke bahunya. Ada suara lirih yang terucap,

“Kasihan risalah Islam. Ia diemban oleh orang-orang seperti kita. Sedang kita tahu betapa berat perjuangan pendahulu kita dalam menegakkannya. Kita disibukkan oleh hal-hal sampingan yang sebenarnya telah diatur Allah dalam kitab-Nya. Kita tidak menyibukkan diri dalam mencari hidayah. Kasihan bocah-bocah Palestin itu. Kasihan saudara-saudara kita di Bosnia . Adakah kita boleh menolong mereka kalau kualitas diri masih seperti ini? Bahkan cinta yang seharusnya milik Allah masih berpecah-pecah. Maka, kekuatan apa yang masih ada pada diri kita?”

Kami saling bertatapan kemudian. Melangkau seribu makna yang tidak mampu dikatakan oleh kosa kata. Ada janji. Ada mimpi. Aku mempunyai impian yang sama seperti Aida: mendukung Islam di jalan kami. Aku ingin mempunyai anak-anak seperti Asma punyai. Anak-anak seperti Immad Aql. Aku tahu kualiti diri masih sangat jauh dari sempurna. Tapi seperti kata Aida; Meskipun aku lebih malu lagi untuk meminta ini kepada-Nya. Aku ingin menjadi pendamping seorang mujahid ulung seperti Izzuddin al-Qassam.

Akhifillah, Mungkin antum tertawa membaca surat ini. Ah akhwat, berapa nilaimu sehingga mengimpikan mendapat mujahid seperti mereka? Boleh jadi tuntutanku terlalu besar. Tapi tidakkah antum ingin mendapat jodoh yang setimpal? Afwan kalau surat antum tidak saya layani. Saya tidak ingin masalah hati ini berlarutan. Satu saja yang saya minta agar kita saling menjaga sebagai saudara. Menjaga saudaranya agar tetap di jalan yang diridhai-Nya. Tahukah antum bahwa tindakan antum telah menyebabkan saya tidak lagi berada di jalan-Nya? Ada riya’, ada su’udzhan, ada takabur, ada kemarahan, ada kebencian, itukah jalan yang antum bukakan untuk saya, jalan neraka? –‘Afwan.
Akhifillah, Surat ini seolah menempatkan antum sebagai tertuduh. Saya sama sekali tidak bermaksud demikian. Kalau antum mahu cara seperti itu, silakan. Afwan, tapi bukan saya orangnya. Jangan antum kira kecantikan lahir telah menjadikan saya merasa memiliki segalanya. Jesteru, kini saya merasa iri pada saudari saya. Ia begitu sederhana. Tapi akhlaknya bak lantera yang menerangi langkah-langkahnya. Ia jauh dari fitnah. Sementara itu, apa yang saya punyai sangat jauh nilainya. Saya bimbang apabila suatu saat ia berhasil mendapatkan Abdullah Azzam impiannya, sedangkan saya tidak.

Akhifillah, ‘Afwan kalau saya menimbulkan fitnah bagi antum. Insya Allah saya akan lebih memperbaiki diri. Mungkin semua ini sebagai peringatan Allah bahwa masih banyak amalan saya yang riya’ maupun tidak ikhlas. Wallahua’lam. Simpan saja cinta antum untuk isteri yang telah dipilihkan Allah. Penuhilah impian ratusan akhwat, ribuan ummat yang mendambakan Abdullah Azzam dan Izzuddin al-Qassam yang lain. Penuhilah harapan Islam yang ingin generasi tangguh seperti Imaad Aql. Insya Allah antum akan mendapat pasangan yang bakal membawa hingga ke pintu jannah.

Akhifillah, Malam bertambah-dan bertambah larut. Mari kita shalat malam dan memandikan wajah serta mata kita dengan air mata. Mari kita sucikan hati dengan taubat nasuha. Pesan saya, siapkan diri antum menjadi mujahid. Insya Allah, akan ada ratusan Asma dan Aisyah yang akan menyambut uluran tangan antum untuk berjihad bersama-sama.

Salam dari ukhtukum fillah.

http://www.oaseimani.com/surat-cinta-untukmu-akhi.html


MENCINTAIMU

Klayar, 15 Agustus 2006

Lelaki itu menggandeng tangan gadisnya turun dari motor lalu mengajaknya ke tepi tebing yang curam dan gelap, karena hari baru akan dimulai. Deras air laut dibawah sana terdengar seperti gemericik air mancur saja. Mereka duduk berdua dalam hening, tanpa kata. Hanya genggaman tangan, dan tatap mata penuh tanya dari si gadis ketika lelakinya membaca rangkaian kata dalam lembaran yang ditulisnya sendiri :

Hari itu aku memintamu menjadi kekasihku, dengan sebuah pelukan aku memaksamu menjadi kekasihku, tanpa sebuah pernyataan cinta dan tanpa konfirmasi darimu. Walau pada saat itu, aku selalu beranggapan aku tidak akan jauh cinta lagi. Sebelum bertemu dirimu, aku sangat yakin tidak akan ada yang dapat mencintaiku seperti engkau. Aku telah memasrahkan diri pada sebuah kenyataan bahwa aku akan selamanya sendiri bersama bayang-bayang seseorang dari masa lalu. Hingga aku bertanya pada diriku sendiri, apa yang telah kulakukan hingga layak mendapatkan orang seperti dirimu.

Kita adalah satu dari dua atom yang membentuk molekul. Aku yakin kita menyatu dengan begitu wajar dan pas, hingga tak heran orang-orang bisa melihat cinta yang terpancar di antara kita. Memilik orang seistimewa dirimu telah mengokohkan keyakinanku akan Tuhan, sebab hanya Dialah yang bisa menciptakan orang seperti dirimu untukku. Aku tak pernah tahu bahwa ada seseorang yang bisa kucintai sepenuh hati dan bisa membuatku merasa dicintai sepenuh hati. Kau membuatku begitu bahagia, hingga kadang aku merasa tidak berhak untuk sebahagia ini.

Kau telah menjadi bagian dari hatiku, jiwa, diriku. Aku ingin kau tahu bahwa aku akan selalu memberimu ke(ny)amanan, cinta, dan dukungan sepanjang sisa hidupku, dalam masa-masa senang dan susah. Aku akan selalu ada untukmu.

Aku percaya, bahwa cinta kita adalah cinta yang langka, cinta yang diimpikan semua orang, namun hanya ditemukan oleh sedikit orang saja. Aku mencintaimu melebihi yang bisa dinyatakan dengan kata-kata. Aku ingin kau tahu bahwa kaulah satu-satunya yang kucintai dalam hidupku, satu-satunya yang paling berarti bagiku dibandingkan siapapun di dunia ini.

Aku tak peduli akan semua yang terluka karena kita.

Kebahagiaan paling besar dalam hidupku adalah bersamamu. Kau telah membuat mimpiku paling indah menjadi kenyataan. Kau adalah hidupku. Kini aku mengerti makna cinta sejati, yaitu mendoakan agar orang yang kucintai merasa berbahagia. Itulah yang kuinginkan untukmu : aku ingin kau bahagia dalam hidupmu.

Terimakasih telah bersedia menjadi kekasihku, kadang aku melupakan kehormatan yang telah kau berikan ini. Tapi pada saat-saat aku merenungkannya dengan tenang dan sadar, aku sepenuhnya menyadari hal ini.

Semoga kita dapat melalui semua pertengkaran yang ada dan membuat kita jauh lebih kuat lagi, hingga pada suatu keadaan dimana hanya Tuhan yang dapat memisahkan kita.

Kau telah begitu murah hati dalam segala hal, sejak kita bersama, jauh melebihi yang bisa kubalas. Kau telah memberiku tempat dari dinginnya malam. Aku hanya berharap suatu hari aku diberi kesempatan untuk membalasnya.

Terimakasih atas cintamu yang begitu besar padaku. Cintamu telah memenuhi seluruh hidupku. Terimakasih sayangku, karena telah menjadi dirimu sendiri. Itulah yang terutama!

PS : Mencintaimu itu seperti menyerahkan padamu pedang mematikan yang bisa membunuh jiwaku… dan mempercayai bahwa kamu takkan melakukannya.

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More