10 Maret 2009

Alastu Birobbikum

udul tulisan ini termaktub di dalam Al Qur’an surat Al-A’raaf ayat 172. Ketika kita di alam arwah di tanya oleh Allah SWT: “Alastubirobbflam”(bukan-kah Aku Tuhan kamu?); Kata Tuhan di sini sebagai terjemahan darikata”Rabb”, dan padawaktu itu kita menjawab “Balaa syahidna” (betul kami telah bersaksi).

Jika di alam ruh kita sudah bersaksi, tetapi ketika didunia ada yang tertutup (kafir, tidak bersyahadat) dan ada yang terbuka (beriman, dengan bersyahadat). Kita termasuk yang terbuka karena kita bersyahadat, dan ketika kita bersyahadat atau bersaksi di dunia, sebenarnya adalah kita mengungkap kembali kesaksian sewaktu di alam ruh. Makanya di alam ruh menggunakan fill madhi (yang menunjukkan waktu yang lalu) dan sekarang di dunia menggunakan fiil mudhori (yang menunjukkan waktu sekarang), asyhadu (sekarang aku bersaksi). Penulis pernah ditanya oleh orang barat yang ingin masuk Islam Dia bertanya: “Kenapa saya mengatakan aku bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah (asyhadu alia ilaahaillallah), bukan aku percaya tidak ada Tuhan selain Allah?” Jawabannya : “Karena kita sudali tahu sebelumnya ketika masih di alam arwah bahwaTuhan kita adalah Allah SWT. Dan sekarang di dunia kita hanya mengungkapkan kembali persaksian itu, makanya bukan memakai kata”aku percaya” melainkan aku bersaksi (asyhadu). Kata percaya itu digunakan untuk mempercayai sesuatu berita, misalnya ada berita berdasarkan berita sebelimnya, maka saya percaya terhadap kebenaran berita tersebut.

Lantas bagaimana dengan yang lupa? Yang lupa diberi peringatan oleh Allah SWT dengan ditiirunkan-Nya Al Qur’ an. Oleh karena itu salah satu nama Al Qur’an adalah al Dzikru (peringatan). Firman Allah SWT : “Sesungguhnya Kamilah yang menurunkan Al Qur ‘an dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya“. (Q.S.AlHijr: 9). Dan yang menyampaikan peringatan yaitu para Nabi dan Rasul disebut dengan mudzakkir (yang menyampaikan peringatan). Tatkaladi alam arwah kita telahbersaksi tentang ke-Esa-an Allah SWT, kata Allah SWT : “bukankah Aku Rabmu”, ya, betul kami bersaksi, demikian kita menjawab. Ketika di dunia manusia terbagi dua:

1. Mereka orang yang menepati janjinya dengan meng-ucapkan syahadat
2. Mereka yang mengingkari akan janjinya yaitu mereka orang-orang kafir.

Namun, fakta dilapangan betapa orang-orang yang sudah bersyahadat itu tidak konsisten dan konsekuen dengan persaksiannya itu.

Lantas apakah konsekuensi syahadat itu. Mari kita lihat firman Allah SWT: “Allah menyatakan bahwasanya tidak ada Tuhan (yang berhak di-sembah) melainkan Dia, Yang menegakkan keadilan. Para Malaikat dan omng-orang yang berilmu (juga menyatakan yang demikian itu). Tak ada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia, Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana“. (Q.S.Alilmran: 18).

Ayat diatas menjelaskan tentang konsekuensi syahadat, yaitu bahwa yang telah mengucapkan syahadat dan beriman, mereka harus tegak dengan adil. Dalam kata lain menegakkan keadilaa Terdapat dalam rangkaian ayat di atas ada tiga saksi, yaitu: Allah SWT, Malaikat, dan orang-orang berilmu yang beriman. Disinilah letak strategisnya syahadat, banyak orang bersyahadat tetapi tidak konsisten dan konsekuen dengan syahadatnya alias tidak tegak dengan adil.

Definisi Adil

Paling tidak ada empat definisi adil, yaitu:

1. Wadh’u syayin fi mahallihi (meletakkan sesuatu pada tempatnya). Orang yang sudah bersyahadat hams meletakkan sesuatu pada tempatnya Dirinya adalah hamba, dan Allah SWT adalah Tuhan, yang dia menghamba kepada-Nya Maka ketika orang yang sudah bersyahadat meletakkan sesuatu pada posisi Tuhan, alias syirik, maka seketika itu dia telah berbohong dengan syahadatnya, karena dia tidak tegak dengan adil. Maka syirik tersebut disebut sebagai perbuatan zhalim yang paling besar. Mengapa syirik tergolong perbuatan zhalim yang paling besar? karena dia sudah bersyahadat tetapi temyata dia percaya kepada sesuatu selain Allah SWT. Seperti percaya kepada keris, tombak, zimat, dan sebagainya Jadi syirik itu adalah perbuatan yang meletakkan sesuatu tidak pada tempatnya, maka dari itu disebut zhalim.
2. Menetapkan kewajiban kepada pemikulnya dan memberikan hak kepada mustahiqnya (orang yang berhak). Orang yang bersyahadat harus melaksanakan kewajiban yang dipikulkan kepadanya. Kemudian harus menyampaikan hak kepada mustahiqnya.
3. Ash Shidqu wal amanah (jujur dan amanah). Orang yang sudah bersyahadat harus jujur dan amanah. Ada dua hal yang menentukan kejujuran : Pertama, hati dengan lisan harus sama dan satu. Kedua, lisan dengan perbuatan harus sama dan satu. Manakala hati tidak satu atau berbeda dengan lisan, maka itu disebut nifaq, jika lisan dengan perbuatan tidak satu, maka disebut fasik. Sedangkan amanah artinya menyampaikan sesuatu kepada pemiliknya
4. MenjadikanAl Qur ‘an sebagai tolak ukur benar atau salah. Benar menurut Al Qur’an itulah kebenaran. Salah menurut AlQur’an itulah kebathilan. Mengapa? karena Al Qur’an itu adalah firman Allah SWT.

Sumber : Lembar Risalah An-Natijah No. 09/Th. XIII Jum’at V 29 Februari 2008

UNTUK SEORANG KAWAN YANG TELAH BANYAK MEMBANTUKU DI BILANGAN PONDOK MELATI...LAMA KITA TIDAK JUMPA, SEMOGA ARTIKEL INI DAPAT MEMBANTUMU........

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More