05 Januari 2009

Keluarga Sefikrah

Dalam perjalanan dakwah tentu ada romantikanya. Berbagai pandangan muncul seputar pernikahan. Maklumlah persoalan yang satu ini tidak dapat dilepaskan dalam perjalanan dakwah itu sendiri. Namun, tak jarang seorang ikhwah memilih berlama-lama membujang dengan seribu satu macam alasan. Sekilas nampaknya wajar, akan tetapi rasanya sulit untuk diterima kewajarannya. Apabila ada seorang ikhwan atau akhwat menunda pernikahan sebab alasan pengen lebih banyak berkiprah dalam dakwah. MAka cobalah simak baik-baik syubhat-syubhat (keraguan-keraguan) di bawah ini:

1. Menikah, membelenggu aktivitas dakwah.

Seorang akhwat (wanita) beberapa hari kemarin mengadu kepada saya, Bagaimana jika ada murabbiyah (guru pembimbing agama) menghimbau untuk tidak segera menikah sebab akan menjadikan aktivitas tidak sebebas sekarang?. Munculnya, kekhawatiran yang melanda di kalangan aktivis tarbiyyah dewasa ini sudah sedemikian dominan sampai-sampai ‘mengintruksikan’ untuk menunda nikah dengan alasan frekuensi dakwahnya tidak sebebas sekarang. Kadang tak habis membayangkan, sebebas seperti apa?? Atau rumah tangga di anggap sedemikian rupa bak karantina? Sosok suami laksana juragan mandor atawa bodyguard yang membatasi ruang gerak secara otoriter dan tanpa dasar? Entahlah…

Mengapa pernikahan dianggap sebagai sebuah pintu keterbelengguan dalam dakwah, padahal justru pernikahan itulah sebenarnya titik awal ia memulai dakwah dengan kesempurnaan diennya. Titik awal ia menggapai pertolongan Allah SWT. Dari sinilah proyek-proyek dakwah justru mulai tersibakkan, keikhlasan mudah disemaikan dan keteguhan mudah terpancang kuat. Keterbelengguan hanya timbul dari pribadi-pribadi yang kurang memahami hakekat dakwah itu sendiri. Dakwah dalam makna yang sebenarnya. Sebab dakwah termasuk di dalamnya konsep penataan ummat. Bagaimana ia menjadi ‘anashirut taghyir’ agen perubah dan anashirut takwin ‘agen penata’ sementara ia sendiri belum bisa bertata diri.

‘kuntum khoiru ummatin uhrijat linnaas’
jadilah engkau ummat terbaik yang dilahirkan kepada manusia untuk beramar ma’ruf nahi munkar” (3:110)

2. Menikah, Berkurangnya Dana Dakwah
Diantara syubhat para aktivis untuk tidak menyegerakan nikah disebabkan karena pemikiran bahwa berumahtangga berarti memperbesar bugjet pendanaan, akibatnya dana dakwah (ongkos aktivitasnya) berarti berkurang. Barang kali di masa lajang cukuplah baginya biaya makan, tinggal (syukur-syukur numpang pada ortu), buat naik angkot dll, tetapi jika ia menikah berarti penambahan anggaran-anggaran kontrak rumah, telepon, listrik, biaya melahirkan, anggaran pendidikan anak dan seabrek kebutuhan, mending berasyik-asyik membujang.

Syubhat seperti ini cukup banyak melanda kalangan aktivis, baik ikhwan maupun akhwat. Ditambah lagi kuliah yang belum kelar, kekhawatiran seperti ini muncul di saat semuanya dinilai secara materi, tidak yakin dengan janji Allah SWT, bahwa justru dengan nikah itulah akan terbukanya pintu-pintu rizki-Nya.

” Dan nikahilah orang-orang yang sendirian diantara kamu, dan orang-orang yang layak (nikah) dan hamba sahayamu yang laki-laki dan hamba sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin Allah yang akan memampukan (menkayakan) mereka dengan karunia-Nya. Dan Allah Maha Luas (pemberiannya) lagi Maha Mengetahui “

3. Menikah menghambat kiprah tholabul ‘ilmi (menuntut ilmu)
Diantara syubhat lain yang sering melanda diantara fikrah mereka –terutama di kalangan akhwat- adalah bahwa nikah akan mengurangi akhtifitas thalabul ‘ilmi, berkurangnya kesempatan keluar untuk kegiatan-kegiatan keilmuan semisal liqa pekanan, mabit atau aktifitas lainnya. Dari beberapa kasus yang terjadi memang demikian adanya, sempat was-was di kalangan para ikhwah yang sudah cukup umur. Bahkan, seorang akhwat sempat bercerita kepada saya setelah sekian tahun dibina dalam tarbiyyah ini tidaklah mudah mengatur dan memenej aktifitasnya. Mengingat ada keinginan suami yang mengharuskan istri tetap tinggal di rumahnya. Belum lagi di fase kelahiran anak pertamanya, kedua dan seterusnya.
Diantara penyebabnya adalah disebabkan minimnya/lemahnya komitmen dalam dakwah termasuk di dalamnya menyangkut kelangsungan tarbiyah. Kedua, dalam memasuki dunia batu ‘rumah tangga’ masih belum adanya kesiapan psikologi ketika ia harus berhadapan dengan tugas-tugas seorang istri. Ketiga, Belum memahami ahammiyyah (urgensi) nikah dalam tataran dakwah. Dan Keempat, adalah kekurangfahaman suami dalam hal tarbiyyah.

Carilah Suami Sefikroh!

Ini penting. Betapa tidak. Suami adalah raa’in (pemimpin), yang memegang tumpuk pimpinan rumah tangga. Atas dasar itulah ‘kejelian’ seorang akhwatdalam memilih sudah menjadi keharusan. Tapi harus diingat kejelian disini bukan berarti serba idealis. Selalu berfikir ‘sempurna’ dengan ikhwan yang anda inginkan. Sudah terlalau banyak yang saya jumpai fenomena seorang akhwat yang akhirnya tidak menyegerakan menikah –kalau tidak dikatakan menunda di usia tua- salah satunya adalah mencari calon yang terlalu ideal baginya.

Inilah yang saya sarankan. Memilih calon suami yang sefikrah dan sepemahaman. Mengapa mesti sefikrah?, sefikrah berarti keduanya sebaiknya memiliki ‘tashawwur islami’ wawasan keislaman yang sama. Parameternya adalah kesamaan kafaah syariyyahnya ‘kefahaman yang sama’. Sebab dengan memiliki kesamaan pemahaman keislaman maka jika dalam menjalani bahtera rumah tangga ini dengan baik, mengambil keputusan dengan tepat sebab dasar afiliasinya (kebergabungannya) dengan islam.

Keluarga sebagai pilar penentram kehidupan tak hanya semata tata penyatuan dua insan untuk menyatukan hati secara materi saja. Namun ia adalah bagian perjalanan ummat manusia yang sarat akan romantika kebahagiaan. Mulailah dengan niatan tulus untuk membangun bahtera rumah tangga dengan kesamaan visi dan misi bangunan keluarga yang akan dibangun. Lalu ukur kefahaman hidup dan kehidupan ini tentunya dalam kacamata keislaman. Kesamaan visi, misi dan tujuan hidup inilah yang akan memperkokoh uraian cinta yang akan dibangun kelak.

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More