05 Januari 2009

Indahnya Ketulusan Cinta

tulisan ini untuk yang akan menikah, untuk yang belum menikah, untuk yang sudah menikah, atau yang mau menikah lagi he...he...he.. ????????????????

..................................................................................

Menerima pendamping kita apa adanya dengan tidak berharap terlalu banyak,
merupakan bekal untuk mencapai kemesraan dalam rumah tangga dan kebahagiaan di akhirat.

Sebagai hamba yang dianugerahi fitrah, kita memang perlu menyeimbangkan
harapan. Tak salah kita berdoa memohon suami yang sempurna, tetapi pada
saat yang sama kita juga harus melapangkan dada untuk menerima kekurangan.
Kita boleh memancangkan harapan, tapi kita juga perlu bertanya apa yang
sudah kita persiapkan agar layak mendampingi pasangan idaman.


Ini bukan berarti kita tidak boleh mempunyai keinginan untuk memperbaiki
kehidupan kita, rumah tangga kita, serta pasangan kita. Akan tetapi,
semakin besar harapan kita dalam pernikahan semakin sulit kita mencapai
kebahagiaan dan kemesraan. Sebaliknya, semakin tinggi komitmen pernikahan
kita (marital commitment) akan semakin lebar jalan yang terbentang untuk
memperoleh kebahagian dan kepuasan.

Apa bedanya harapan dan komitmen? Apa pula pengaruhnya terhadap keutuhan
rumah tangga kita? Harapan terhadap perkawinan menunjukkan apa yang ingin
kita dapatkan dalam perkawinan. Bila kita memiliki harapan perkawinan yang
sangat besar, sulit bagi kita untuk menerima pasangan apa adanya. Kita akan
selalu melihat dia penuh kekurangan. Jika kita menikah karena terpesona
oleh kecantikannya, kita akan segera kehilangan kemesraan sehingga tidak
bisa berlemah lembut begitu istri kita sudah tidak memikat lagi. Betapa
cepat dan berlalu dan betapa besar nestapa yang harus ditanggung.

Sementara itu, komitmen perkawinan lebih menunjukkan rumah tangga seperti
apa yang ingin kita bangun. Kerelaan untuk menerima kekurangan, termasuk
mengikhlaskan hati menerima kekurangannya membuat kita lebih mudah
mensyukuri perkawinan.

Disebabkan oleh komitmen yang sangat kuat pada Allah dan Rasul-Nya istri
Julaibib mengikhlaskan hati untuk menikah dengan Julaibib. Yang baru
semalam usia pernikahan mereka Julaibib mengakhiri hayat di medan syahid.
Ketika ibunya merasa tidak rela dikarenakan rendahnya rendahnya martabat
dan buruknya perawakan fisik, ia meminta agar orang tuanya menerima
pinangan itu kalau memang Rasulullah saw. yang menentukan.

Orang yang melapangkan hati untuk menenggang perbedaan, cenderung akan
menemukan banyak kesamaan. Perbedaan itu bukan lantas tidak ada, tetapi
kesediaan untuk menenggang perbedaan membuat kita mudah untuk melihat
kesamaan dan kebaikannya. Sebaliknya, kita akan merasa tidak nyaman
berhubungan dengan orang lain, tidak terkecuali pendamping hidup kita, bila
kita sibuk mempersoalkan perbedaan. Apalagi jika kita sering
menyebut-nyebutnya, semakin terasa perbedaan itu dan semakin tidak nyaman
membina hubungan dengannya.

Semoga Allah melindungi kita dari mempersoalkan perbedaan tanpa mengilmui.
Semoga Allah menjauhkan kita dari kesibukan yang membinasakan. Semoga Allah pula kelak mengukuhkan ikatan perasaan di antara kita dengan kasih sayang, ketulusan, dan kerelaan menenggang perbedaan. Sesungguhnya telah berlalu umat-umat sebelum kita yang mereka binasa karena sibuk mempersoalkan perbedaan dan memperdebatkan hal-hal yang menjadi rahasia Allah.

Nah, jika mempersoalkan perbedaan, menyebut-nyebutnya, dan mengeluhkannya
akan membuat hubungan renggang, mengapa tidak melapangkan hati untuk
menenggangnya? Sesungguhnya menenggang perbedaan akan menumbuhkan kasih sayang dan kemesraan yang hangat. Ada perasaan mengharukan yang sekaligus membahagiakan jika kita memberikan untuknya apa yang ia sukai.

Untuk itu, ada tiga hal yang perlu kita pahami agar ia mempercayai
ketulusan kita. Pertama, berikanlah perhatian yang hangat kepadanya.
Besarnya perhatian membuat dia merasa kita sayang dan kita cintai. Kedua
terimalah ia tanpa syarat. Penerimaan tanpa syarat menunjukkan bahwa kita
mencintainya dengan tulus. Tidak mungkin menerima dia apa adanya jika kita
tidak memiliki ketulusan cinta dan kebersihan niat. Ketiga, ungkapkanlah
dengan kata-kata yang tepat.

Berkaitan dengan ungkapan ini, ada sebuah tips yang ahsan yang disampaikan
oleh ustaz yang kini masih mengajar di jurusan Psikologi, UII, Yogyakarta
ini. Yakni terminologi "aku" dan kamu". Saat kita mendapatkan bahwa masakan
yang dibuat pasangan kita keasinan misalnya, maka gunakanlah kata ganti
"aku" . "Aku lebih suka kalau sayurnya lebih manis, sayang" Tapi saat kita
mendapatkan suatu kelebihan pada diri pasangan, ia sukses menggoreng telor
dadar misalnya (biasanya ia menggoreng berkerak), maka kita gunakan kata
ganti "kamu". "Kamu memang pintar, istriku". Kita gunakan kata "aku" untuk
sesuatu yang sifatnya negatif dan "kamu" untuk sesuatu yang sifatnya
positif. Untuk semua hal.

Tampaknya memang benar, karena penggunaan kata ganti "kamu" untuk sebuah
kesalahan yang telah dilakukan oleh pasangan kita cenderung menyaran pada
arti memvonis alih-alih memosisikan pasangan kita sebagai tertuduh.

Dalam perspektif pragmatik (linguistik), terminologi ini merupakan sebuah
upaya penggunaan maksim kesopanan dengan tetap mempertahankan maksim kerja sama. Dengan tujuan agar tidak terjadi konflik pada keduanya.

Berangkat dari petunjuk Allah ini tidak layak bagi kita untuk sibuk
mempersoalkan kekurangan ataupun kesalahan, apalagi kekurangan yang sulit
dihilangkan, sepanjang ia tidak melakukan kekejian yang nyata. Betapa pun
banyak yang tidak kita sukai darinya, kemesraan dengannya tak akan pudar
jika kita mencoba untuk berbaik sangka kepada Allah, barangkali di balik
itu Allah berikan kebaikan yang sangat besar. Sebaliknya, sesedikit apa pun
keburukannya, bila kita sibuk menyebut-nyebut dan mengingatnya, akan sangat
memberatkan jiwa. Dampak selanjutnya tidak hanya bagi hubungan suami istri,
tetapi merembet pada hubungan kita dan si kecil.

Terimalah ia apa adanya. Terimalah kekurangannya dengan keikhlasan hati
maka akan kita temukan cinta yang bersemi indah. Sesudahnya berupaya
memperbaiki dan bukan menuntut untuk sempurna. Bukankah kita sendiri
mempunyai kekurangan, mengapa kita sibuk menuntut istri untuk sempurna? Ada
amanat yang harus kita emban ketika kita menikah. Ada ruang untuk saling
berbagi. Ada ruang untuk saling memperbaiki. Dan bukan saling mengeluhkan,
alih-alih menyebut-nyebut kekurangan.

Pahamilah kekhilafannya agar ia merasa ringan dalam memperbaiki, meski
bukan berarti kita lantas membiarkan kesalahan. Berikanlah dukungan dan
kehangatan kepadanya sehingga ia berbesar hati menghadapi
tantangan-tantangan yang ada di depan. Tunjukkanlah bahwa kita memang
sangat menghargainya, menerimanya dengan tulus, mau mengerti dan
bersemangat mendampinginya.

Dalam buku ini Ustaz Fauzil memang tidak hanya membahas seputar keikhlasan
menerima pasangan kita apa adanya. Namun tampaknya beliau memandang masalah yang remeh temeh ini dalam beberapa hal telah menjadi batu karang yang cukup terjal yang kemudian melahirkan benih-benih konflik dan
alih-alih perceraian.

Seperti pada bagian akhir, beliau menjelaskan bagaimana upaya belajar itu
tidak sebatas menerima apa adanya, tetapi juga diikuti dengan belajar
mendengar dengan sepenuh hati. Karena tidak jarang kita bukan tidak paham
jawaban yang sesungguhnya diinginkan di balik pertanyaan pasangan.

Cukup banyak hal sepele yang tampaknya kita anggap telah kita berikan
tetapi ternyata hal itu jauh meleset dari dugaan. Kita bukan mendengar
pasangan tetapi mendengar diri sendiri, kita bukan memberi solusi tapi
malah menambah materi. Kita bukan memberi jalan keluar alih-alih
menghakimi. Kita bukan memberikan jawaban, tetapi malah memberikan
pertanyaan. Kita bukan meringankan tetapi malah memberatkan. Benarkah?

Al akhir, kekayaan itu ada di jiwa. Dan keping kekayaan itu dimulai dari
ketulusan menerima. Dengan kekayaan jiwa kita akan lebih mudah memberikan
empati, lebih mudah untuk memahami, lebih mudah untuk berbagi dan lebih
mudah mendengar dengan sepenuh hati.

Hari ini, ketika kita bermimpi tentang sebuah pernikahan yang romantis
sementara ikatan batin di antara kita dan pasangan begitu rapuh, sudahkah
kita berterima kasih kepadanya? Sudahkah kita meminta maaf atas kesalahan
kesalahan kita? Jika belum, mulailah dengan meminta maaf atas
kesalahan-kesalahan kita dan ungkapkan sebuah panggilan sayang untuknya.
Mulailah dari yang paling mudah, hatta yang paling remeh atau kecil
sekalipun. Mulailah dari yang paling kecil, demikian Ustaz Aa' berpesan.
Little things mean a lot, demikian Ustaz Fauzil menambahkan. Agar cinta
bersemi dalam keluarga kita, agar cinta senantiasa berbunga dalam kehidupan
kita.

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More