This is default featured post 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured post 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured post 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured post 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured post 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

19 Agustus 2010

Turun ke Dasar Laut untuk Mengambil Mutiara (Ruhaniyat Tarbawiyah)

Saudaraku,

Imam Ibnu Qayyim rahimahullah dalam Al Fawaa-id, mengatakan, “Waspadai kemaksiatan. Karena kemaksiatan telah menghinakan kemuliaan ‘usjuduu ’ (sujudlah) dan mengeluarkan kalimat yang memutuskan ‘uskun ’ (menetaplah engkau).” Kata usjuduu, maksudnya,perintah Allah swt dahulu kepada makhluk-Nya untuk sujud kepada Adam as saat pertama kali diciptakan. Tanda bahwa Adam as sebagai manusia, sangat dimuliakan. Sedangkan kata ‘uskun ’ merupakan firman Allah swt kepada Adam as untuk menetap dan tinggal di surga bersama Hawa as. Firman Allah swt ini, juga menandakan betapa kasih sayang Allah swt kepada Adam as selaku manusia. Tapi, kemaksiatan Adam as yang melanggar perintah Allah dan cenderung pada bisikan syaitan, telah merusak kemuliaan ‘usjuduu ’ dan ‘uskun ’. Itulah yang dimaksud dalam perkataan Imam Ibnu Qayyim rahimahullah.

Perhatikanlah saudaraku,

Ibnul Qayyim dengan sangat indah melukiskan perjalanan Adam as, manusia pertama. “Peristiwa ini sungguh memunculkan kegelisahan seribu tahun. Tak putus tertulis dengan lembar penyesalan dan kesedihan dalam hamparan kisah. Membawa angin kekecewaan. Sampai Adam as didatangkan keputusan ‘fa taaba ‘alaiih ’ ((maka Allah swt memberikan ampunan kepadanya)...Iblis mungkin bersuka cita dengan diturunkannya Adam dari surga.Tapi Iblis tidak tahu bahwa turunnya Adam as seperti turunnya seorang penyelam ke dasar laut, lalu kembali ke atas membawa mutiara.”

Saudaraku,

Kemaksiatan dan dosa yang dilakukan, bukan akhir segalanya. Lihatlah lagi bagaimana perenungan Ibnu Qayyim terhadap rangkaian peristiwa yang dialami Adam as. Bertolak dari firman Allah swt dalam Al Qur ’an, Ibnu Qayyim menyusun redaksi sendiri setelah mentadabburinya. Seolah, Allah swt selanjutnya mengatakan kepada Adam, “Wahai Adam, jangan bersedih dengan perkataan-Ku kepadamu: “Keluarlah kamu dari surga ”. Karena Aku telah ciptakan dunia untukmu dan kepentingan keturunanmu. Wahai Adam, dahulu engkau datang kepada-Ku sebagaimana al muluuk (raja). Tapi sekarang engkau datang kepada-Ku sebagaimana seorang al ‘abiid (hamba) datang kepada raja. Tak perlu bersedih karena ketergelinciran (dari surga) karena kesalahanmu. Karena sesungguhnya, sekarang telah keluar dari dirimu penyakit sombong. Dan kini engkau telah menggunakan pakaian penghambaan...”

Saudaraku,

Dosa dan kemaksiatan, memang pasti mendatangkan akibat.Akibat paling merugikan adalah lenyapnya kebaikan dan keutamaan yang semula didapatkan seseorang dari Allah swt. Seperti dialami Adam as yang melanggar perintah Allah dan iblis yang bukan hanya melanggar tapi melawan dan membangkang perintah Allah swt. Apa hasilnya? Hasilnya kerugian bagi Adam as yang kehilangan posisi sebelumnya ia peroleh berupa ketenangan hidup di surga. Juga kerugian Iblis berupa kehinaan tak terperi dan tak ada ujungnya karena murka Allah swt.

Tapi saudaraku,

Ibnu Qayyim mengeluarkan sebuah kesimpulan sangat indah dari kisah Adam as ini. Kesimpulan yang harus kita perhatikan dan kita jadikan pegangan. Bahwa tidak semua kondisi jatuh melakukan kesalahan, berarti tak pernah ada lagi harapan. Tidak seluruh ‘penurunan ’, berarti tak pernah ada lagi ‘kenaikan ’. Mungkin saja ada yang gembira dengan jatuh dan terperosoknya kita. Iblis gembira dengan jatuhnya Adam dari surga ke dunia. Tapi sebenarnya turunnya Adam dari surga justeru mengantarkan Adam menemukan mutiara yang sangat berharga. Seperti seorang penyelam yang berenang ke dasar laut yang dalam, untuk memperoleh mutiara. Ini salah satu cara kita memandang kesalahan yang dilakukan Adam as.

Sebagaimana sabda Rasulullah saw,“ Demi Dzat yang jiwaku ada di Tangan-Nya, jika kalian tidak melakukan dosa niscaya Allah swt akan menghilangkan kalian, lalu didatangkan kaum yang berdosa dan mereka meminta ampun kepada Allah swt kemudian Allah swt mengampuni mereka.“ (HR.Muslim)

Saudaraku,

Allah swt juga sudah memberi sentuhan lain dengan menenangkan Adam as dan keturunannya, bahwa ketika Adam dikeluarkan dari surga, itu tidak berarti Allah swt tidak mengasihi dan memperhatikannya lagi. Karena memang bumi ini diciptakan untuk Adam dan keturunannya, seperti firman-Nya,“ Innii jaa ’ilun fil ardhi khaliifah...” (Sesungguhnya Aku menjadikan (manusia) khalifah di bumi). Itulah yang dikehedaki Allah swt. Yang berubah dari hubungan Adam as dengan Allah, sebagaimana perkataan Ibnul Qayyim, adalah penyikapan Allah yang seperti ‘al muluuk ’ atau raja, kepada Adam, kemudian menjadi pola ‘al ’abiid ’ atau hamba. Allah swt juga kemudian membersihkan hatinya dari kesombongan dan ujub pada diri sendiri.

Tapi di sisi lain, Allah swt tetap menyediakan kepemilikan surga itu untuk Adam as dan keturunannya. Dikeluarkannya Adam as dari surga adalah untuk kemudian, surga akan diberikan lagi secara lebih sempurna untuk hamba-hamba Allah swt yang mendapat rahmat Allah swt untuk memasukinya. “Seorang pun tidak mengetahui apa yang disembunyikan untuk mereka yaitu (bermacam-macam nikmat) yang menyejukkan mata sebagai balasan terhadap apa yang mereka kerjakan.” (QS.As Sajdah :17)

Saudaraku,

Ini tidak menjadikan kita tak peduli dengan dosa dan kesalahan, karena satu hal yang juga disampaikan Ibnu Qayyim, meski beragam keutamaan yang Allah swt berikan kepada Adam as, tetap saja Adam telah melakukan kemaksiatan. Dan karenanya, yang paling berguna bagi Adam untuk merengkuh kemuliaannya kembali adalah dengan mengakui kesalahan dan menyesalinya. Ini tercantum dalam do ’a Adam as, “Tuhan kami, kami telah menzalimi diri kami sendiri, dan jika engkau tidak mengampuni kami, sungguh kami termasuk orang-orang yang merugi.” Menurut Ibnu Qayyim, kondisi ini, “Mirip pejuang yang terluka oleh pedang musuh. Lalu ia mengobati lukanya, dan kembali lagi berperang seperti ia tidak memiliki luka.”

Sungguh perkatan yang halus, makna yang dalam dan menyentuh dari seorang Imam yang sangat mengerti tentang hati, Imam bnul Qayyim Al Jauziyah rahimahullah ._

Seberapa Besar Hati Kita Mengagungkan Allah?

Saudaraku,

Mungkinkah orang yang banyak berdosa, menyisakan hati yang mengakui keagungan Allah swt? Banyak orang mengira jawabannya, tidak. Mereka mengatakan, hanya orang shaleh yang mampu memiliki hati yang menyimpan kebesaran dan keagungan Allah swt. Sementara pelaku dosa dan yang bergelimang kemaksiatan, mereka termasuk kelompok orang yang tidak mendapat rahmat Allah, dan ini artinya tidak ada pengakuan dalam hati mereka terhadap kebesaran dan keagungan Allah swt.

Saudaraku yang dikasihi Allah,

Dosa dan maksiat memang pasti memberi dampak pada orang yang melakukannya. Begitu pun ketaatan yang pasti memberi pengaruh pada orang yang melakukannya. “Kebaikan itu menyinari wajah, memberi cahaya dalam hati,membuka keluasan rejeki, memberi kekuatan tubuh, menambah cinta di hati makhluk. Sedangkan keburukan dan dosa itu, memberi kelam di wajah, kegelapan di dalam kubur dan di dalam hati,melemahkan tubuh, menyempitkan rejeki dan memunculkan kebencian di hati makhluk.” Demikian ungkapan Ibnu Abbas radhiallahu anhu.

Saudaraku,

Tapi Islam tetap selalu ingin memberi semangat pada orang yang sudah berdosa agar tidak pernah putus harapan dari rahmat Allah. Dosa dan kemaksiatan sebenarnya tidak menghalangi seseorang untuk tetap memiliki hati yang mengakui kebesaran dan keagungan Allah swt. Mungkin, kita menapakkan kaki di tempat yang tidak sesuai dengan keridhaan Allah swt. Tapi hati kita tetap memendam pengakuan tulus akan keagungan Allah swt. Ini artinya, Allah swt meniupkan kebaikan dalam hati, meski secara lahir kita belum sesuai dengan situasi hati kita. Itulah sebabnya para ulama membagi dua kategori kemaksiatan, yakni kemaksiatan anggota tubuh yang disebut dzunuub al jawaarih, dan kemaksiatan hati yang disebut dzunuub al qalb. Meski tidak dipungkiri juga ada keterkaitan antara keduanya, dan yang paling membahayakan adalah kemaksiatan hati ketimbang kemaksiatan anggota tubuh.

Saudaraku,

Keadaan hati yang tetap mengagungkan Allah swt, adalah kondisi yang membersihkan seseorang untuk kembali dari ragam penyimpangan. Hati seperti inilah yang tetap menyuarakan keagungan dan ke Maha Besaran Allah swt sehingga menolong pemiliknya dari kondisi larut dalam kesalahan. Seperti ungkapan sebagian orang shalih, “Barangsiapa yang di dalam hatinya tetap mengagungkan Allah swt, maka Allah swt akan menolongnya agar jasadnya juga mengagungkan Allah swt.”

Lihatlah peristiwa yang dialami seorang shalih bernama Basyar Al Hafi, tokoh ulama yang terkenal zuhud dan wara ’ Abu Na ’im dalam Hilyatu Al Auliya, menguraikan Basyar Al Hafi yang mengatakan, “Aku dahulu seorang yang tersesat dan tidak tahu arah. Suatu hari aku melihat sebuah kertas di atas jalan. Aku mengambil kertas itu dan kulihat di dalamnya tertera kalimat “Bismillahir Rahmaanir Rahiim ”. Aku bersihkan kertas itu dan aku masukkan ke dalam kantong. Saat itu aku hanya mempunyai uang dua dirham, tapi uang itu kuhabiskan untuk membeli minyak wangi. Minyak wangi itu aku usap pada kertas yang kusimpan di dalam kantong. Malam harinya, aku bermimpi seseorang mengatakan padaku, “Wahai Basyar, engkau angkat Nama Kami dari jalanan. Engkau membuatnya harum. Maka Aku akan mengharumkan namamu di dunia dan di akhirat.”

Renungkanlah saudaraku, bagaimana pengagungan Allah swt yang ada di dalam hati Basyar Al Hafi.

Saudaraku,

Ada pula kisah pelaku dosa yang tiba-tiba jiwanya tersungkur merasakan keagungan Allah swt. Lihatlah perubahan besar yang dilakukan seorang bernama Fudhail bin Iyadh, yang kemudian menjadi salah satu ulama besar Islam di jamannya. Dahulunya, Fudhail adalah seorang perampok yang sangat ditakuti karena kekejamannya. Suatu ketika, ia merampok sebuah rumah sebelum waktu subuh. Saat menaiki tembok rumah, ia melihat seorang kakek tua membaca Al-Qur ’an. Saat itu, mungkin saja Fudhail tetap melanjutkan aksinya untuk merampok, tapi bacaan Al-Qur ’an orang tua itu begitu membuat jiwanya guncang. Secara lahir, Fudhail sudah melakukan kejahatan. Tapi kali ini, kejahatan fisiknya tidak mendominasi keburukan hatinya. Maka, ketika orang tua itu membacaan firman Allah swt, “Belumkah datang waktunya bagi orang-orang beriman untuk tunduk hati mereka mengingat Allah dan kepada kebenaran yang telah turun (kepada mereka)...” ((QS.Al Hadid :16). Fudhail memandang ke langit, seraya mengatakan, “Ya Rabb, aku bertaubat kepadamu malam ini.” Saat itu juga ia turun,, lalu mandi dan pergi ke masjid menangis dalam taubatnya. Seperti itulah, bahwa ada banyak perilaku maksiat yang tidak membatasi kondisi hati yang tetap mengagungkan Allah.

Saudaraku,

Karenanya, nilai seseorang tidak serta merta jatuh karena ia melakukan dosa dan maksiat. Bahkan ketika seorang pezina dirajam lalu mendapat cacian dan penghinaan dari sejumlah sahabat, Rasulullah saw bersabda, “Jangan lakukan itu, dia telah bertaubat dengan taubat yang bila ditimbang dengan 70 orang penduduk Madinah niscaya taubatnya meliputi mereka semua.” Dalam riwayat lain,, “Sesungguhnya taubatnya jika ditimbang dengan seluruh penduduk Madinah, niscaya akan meliputi mereka semua.” Artinya, pezina itu pun ternyata memiliki hati yang tetap mengagungkan Allah swt. Kondisi hati seperti itulah yang membuatnya rela mendapat hukuman sesuai kehendak Allah swt dan Rasulullah saw.

Sekarang,mari bertanya pada diri sendiri, seberapa besar keagungan Allah swt dalam hati kita?_

Menunda Azab Selama 40 Tahun (Ruhaniyat Tarbawi)

Laa ilaaha illallah. Tidak ada tuhan yang layak disembah kecuali Allah swt. Tak ada yang layak diikuti kecuali Allah swt. Tak ada yang layak ditakuti kecuali Allah swt. Tak ada yang patut dicintai kecuali Allah swt. Tunduk, pasrah, dan tawakal hanya kepada Allah swt. Kalimat inilah yang sungguh-sungguh akan menguatkan kita di mana dan di kapan saja.

Saudaraku, mari resapi kandungan dan makna kalimat itu.

Renungkanlah bagaimana Rasulullah saw dan para sahabatnya dengan sangat cermat menanamkan keyakinan yang begitu kokoh dalam diri anak-anak mereka. Agar mereka sejak kecil tidak keliru menempatkan perasaan tunduk dan patuh kepada selain Allah. Agar mereka sejak usia belia tidak keliru menyikapi perasaan takut kepada selain Allah. Agar mereka sejak kanak-kanak telah mampu mewarnai diri dengan segenap perasaan yang selalu berdekatan dengan keberadaan Allah swt. Ibnu Umar ra pernah meriwayatkan sebuah sabda Rasulullah saw, tentang hal ini. “Jangan acungkan tongkat pada anak-anakmu (agar dia takut padamu). Tapi jadikanlah mereka takut pada Allah Azza wa Jalla.” (HR. Thabrani dengan sanad jayyid)

Rasulullah saw sering memanfaatkan sela-sela waktu berbicara dengan anak-anak. Dan di sela-sela waktu seperti itu Rasulullah saw mengucapkan untaian kata yang sangat dalam maknanya agar mereka selalu mengaitkan seluruh gerak dan kehidupannya dengan Allah swt. Simaklah sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Turmudzi, dari Ibnu Abbas ra, saat Rasulullah saw berkata kepadanya, “Nak, aku ajarkan engkau beberapa kalimat, ‘Peliharalah (hak) Allah, niscaya Allah akan memeliharamu. Peliharalah (hak) Allah, niscaya engkau dapati Allah berpihak padamu. Jika engkau meminta, mintalah pada Allah. Dan jika engkau ingin pertolongan, mintalah pertolongan itu pada Allah. Ketahuilah! Seluruh umat manusia jika berkumpul untuk memberimu manfaat, mereka tidak akan bisa melakukannya kecuali dengan apa yang telah Allah tetapkan untukmu. Dan jika mereka berkumpul untuk memberi bahaya atasmu, mereka tidak akan bisa melakukannya kecuali dengan apa yang telah ditetapkan Allah untukmu. Pena telah diangkat dan lembaran telah kering.” (HR. Turmudzi). Lihatlah bagaimana Rasulullah menekankan kalimat demi kalimat untuk menanamkan ketergantungan yang sangat total kepada Allah swt.

Saudaraku,

Perhatikanlah potongan-potongan kalimat dalam nasihat Rasulullah saw. Cermatilah penggalan kata demi kata yang begitu menukik tajam, membawa siapa pun yang menyimaknya untuk selalu bergantung sepenuhnya pada Allah swt. Laa ilaaha illallah. Tidak ada daya. Tidak ada kekuatan. Tidak ada perlindungan. Kecuali milik Allah. Iman yang kuat, adalah modal kita agar mampu menghadapi semua masalah dengan tegar. Hanya keimanan yang bisa menjadikan kita selalu optimis memandang hidup.

Saudaraku,

Sebagaimana yang dilakukan Rasulullah saw dan para sahabatnya, kekuatan iman harus ditanam dan dipelihara pertumbuhannya sejak seseorang masih kanak-kanak. Usia kanak-kanak yang masih bersih dan mudah disemai dengan keyakinan yang benar. Lihatlah apa yang diceritakan Ibnu Zufr Al Makky, dalam kitabnya Anba Nujaba Al Abna tentang masa kecil Harits Al Muhasibi. Suatu ketika, Harits pernah ditawari sejumlah kurma oleh pedagang kurma. “Makanlah semua kurma ini,” kata penjual itu. Namun karena kehati-hatiannya, Harits malah bertanya, “Beri tahu dahulu bagaimana engkau mendapatkan kurma-kurma ini?” “Baru saja ada orang yang membeli kurmaku, lalu ada kurma yang dibelinya terjatuh…” kilah orang itu.

Harits Al Muhasibi lalu bertanya kepada sejumlah anak-anak yang tengah bermain disekitarnya, “Teman-teman, apakah bapak ini seorang muslim?” Mereka mengiyakannya. Tapi Harits segera beranjak pergi meninggalkan orang itu. Laki-laki itu lalu mengejarnya dan menangkap tangannya sambil bertanya penasaran, “Demi Allah, aku takkan melepaskanmu kecuali engkau mengatakan kepadaku apa yang ada dalam hatimu tentang diriku?”

Saudaraku,

Dengarkanlah apa jawaban Harits yang belum berusia 10 tahun itu. “Pak, jika engkau seorang muslim, mintalah kurma itu pada pemiliknya sampai ia ikhlas memberikan miliknya padamu. Lakukanlah itu sekuat tenaga seperti jika engkau dalam kondisi yang sangat haus dan sangat ingin meminum air. Pak, apakah engkau mau memberi makan anak-anak kaum muslimin dengan yang haram? Padahal engkau muslim?” Orang itu terkejut dan mengatakan, “Demi Allah, saya tidak akan berjualan lagi untuk urusan dunia…”

Mereka adalah anak-anak hasil pendidikan tauhid yang ditanamkan orang tuanya. Keimanan mereka begitu menghujam dalam kepribadiannya melalui pelajaran Al Qur’an, hadits dan sirah Rasulullah saw. Para orang tua memberi motivasi yang sangat baik agar anak-anaknya dekat dengan sumber-sumber petunjuk Allah swt itu. Inilah yang dikatakan Ibrahim bin Adham, “Dahulu, ayahku mengatakan padaku, ‘Nak, carilah hadits Rasulullah saw. Setiap engkau mendengar satu hadits dan engkau bisa menghapalnya, engkau akan mendapat hadiah satu dirham.” (Syaraf Ashabul Hadits/10). Ibrahim bin Said Al Jauhari juga pernah menceritakan, “Aku melihat seorang anak kecil usia 4 tahun yang dibawa ke hadapan Al Makmun dan membacakan Al Qur’an. Padahal jika lapar ia masih menangis.” (Al Kifayah fi ilmi Riwayah, Khatib Al Baghdadi/116).

Apa yang sudah kita berikan untuk anak-anak kita? Menanamkan ketergantungan mereka pada Allah swt dalam setiap peristiwa yang mereka alami? Menekankan kedekatan mereka pada Allah swt? Menyakinkan mereka dengan hadits-hadits Rasulullah saw? Mengajarkan, menuntun dan mendorong mereka untuk membaca dan menghafal Al Qur’an?

Tahukah kita, bila bacaan Al Qur’an seorang anak bisa menjadi sebab diangkatnya bala dan azab dari keluarga dan masyarakat kita? Hudzaifah bin Yaman mengatakan, bahwa Rasulullah saw bersabda, “Sesungguhnya suatu kaum akan ditimpa azab oleh Allah, sebagai suatu ketetapan yang pasti. Tapi kemudian seorang anak di antara mereka membaca Al Hamdulillahi Rabbil Alamin. Ucapan itu didengar Allah swt dan mengangkat azab-Nya dari mereka karena pembacaan itu, selama 40 tahun.” (Tafsir Al Kabir, Ar Razi, 1/178).

Saudaraku,

Ajarkan mereka Al Qur’an. Semoga kita terhindar dari azab Allah swt…_

Biarkanlah Teguran itu Datang (Ruhaniyat Tarbawi)

Khudzaifah bin Al Yaman ra dalam suatu kesempatan, mendatangi sahabatnya, Amirul Mukminin Umar bin Khattab ra.Tidak seperti biasanya, Khudzaifah yang juga disebut shahibus sirri (penyimpan rahasia) Rasulullah saw itu mendapati Umar dengan raut muka yang muram,penuh kesedihan. Ia bertanya, “Apa yang sedang engkau pikirkan wahai Amirul Mukminin?”

Saudaraku,

Jawaban Umar sama sekali tidak terduga. Kesedihan dan kegalauan hatinya, bukan karena banyak masalah rakyat yang sudah pasti membuatnya letih. Kali ini, Umar justru tengah khawatir memikirkan kondisi dirinya sendiri. “Aku sedang takut bila aku melakukan kemungkaran, lalu tidak ada orang yang melarangku melakukannya karena segan dan rasa hormatnya kepadaku,” ujar Umar pelan. Sahabat Khudzaifah segera menjawab, “Demi Allah, jika aku melihatmu keluar dari kebenaran, aku pasti akan mencegahmu.” Seketika itu, wajah Umar bin Khattab berubah senang. “Alhamdulillah Yang menjadikan untukku sahabat-sahabat yang siap meluruskanku jika aku menyimpang,” katanya.

Seperti itulah Umar. Jika banyak orang gusar dan marah mendapat teguran atas kesalahan yang dilakukannya. Tapi ia justru menginginkan teguran. Khalifah kedua setelah Abu Bakar ra itu justru ingin kesalahannya diketahui orang lain, untuk kemudian ditegur dan diluruskan. Subhanallah....

Saudaraku,

Berterus terang kepada diri sendiri atas kesalahan yang dilakukan bukan hal mudah. Terlebih mengaku berterus terang kepada orang lain dan menerima kesalahan yang dilakukan. Lebih sulit lagi, menerima teguran orang lain atas kesalahan. Tapi sebenarnya, teguran atas kesalahan itu kita perlukan.Al-Qur ’an memberi banyak ilustrasi tentang ajakan bermuhasabah, mengevaluasi diri dan teguran langsung atas kesalahan. Metode muhasabah dan teguran yang ada dalam ayat-ayat Al Qur ’an, mengajak kita mau mengakui semua perbuatan dengan jujur dan tulus. Agar kita terbiasa berterus terang mengungkap berbagai kesalahan kepada diri sendiri. Memeriksa noda-noda kesalahan dan kekeliruan yang ada lalu mengakuinya. Bukan untuk membesar-besarkan kesalahan dan membuat diri menjadi gelisah, tetapi agar kita mengetahui kadar kebaikan dan keburukannya. Inilah makna yang dimaksud dalam perkataan Said bin Jubair saat ia ditanya, “Siapakah orang yang paling hebat ibadahnya?” Ia menjawab, “Orang yang merasa terluka karena dosa dan jika ia ingat dosanya ia memandang kecil amal perbuatannya.” (Az Zuhdu, Imam Ahmad, 387)

Saudaraku,

Perhatikanlah bagaimana para sahabat radhiallahu anhum dalam Perang Uhud mendapat teguran langsung dari Allah swt, saat mereka terluka dan mengalami situasi tertekan dan sulit.Ketika itu turun firman

Allah swt, “Sesungguhnya orang-orang yang berpaling di antara kalian pada hari bertemu dua pasukan itu, mereka digelincirkan oleh setan karena sebagian kesalahan yang telah mereka perbuat (di masa lampau). Dan sesungguhnya Allah telah mengampuni mereka...” (QS.Ali Imran 155). Lihatlah juga di saat bagaimana Allah swt menegur langsung mereka dalam firman-Nya surat Ali Imran ayat 165. “...Kalian berkata: “Dari mana datangnya kekalahan ini?” Katakanlah: “Itu dari (kesalahan) dirimu sendiri.” Perhatikanlah bagaimana

Allah swt menegur para sahabat dalam peperangan Hunain.“...Dan (ingatlah) peperangan Hunain, di waktu kalian menjadi sombong karena banyaknya jumlah kalian, maka jumlah yang banyak itu tidak memberi manfaat kepada kalian sedikit pun...” (QS.At Taubah :25)

Maksud teguran langsung tersebut adalah membangkitkan suasana muhasabah, mengangkat kejujuran dan keterbukaan yang bisa menjadikan seseorang mampu mengambil pelajaran dari kekeliruan dan kesalahannya. Musharahah atau keterusterangan untuk mengakui kesalahan adalah langkah paling awal untuk memulai perbaikan.

Saudaraku,

Teguran itu pahit. Tapi cobalah lebih jauh merenungi, pentingnya teguran atas kesalahan. Ustadz Abdul Hamid Al Bilali, dalam Waahaat Al Iiman, menguraikan banyak hal tentang akibat dosa dan kesalahan yang terus menerus dilakukan karena tidak mendapat teguran. Menurutnya, akibat kesalahan yang dilakukan terus menerus adalah sikap tidak merasa berdosa dan tidak merasa bersalah. Perasaan tidak bersalah dan tidak berdosa itu sendiri, bisa disebabkan kondisi akrab dengan dosa tertentu yang terlalu sering dikerjakan. Situasi seperti inilah yang paling ditakutkan Al Hasan Az Zayyat rahimahullah. Ia mengatakan, “Demi Allah, aku tidak peduli dengan banyaknya kemungkaran dan dosa. Yang paling aku takutkan ialah keakraban hati dengan kemungkaran dan dosa. Sebab jika sesuatu dikerjakan dengan rutin, maka jiwa menjadi akrab dengannya dan jika demikian, jiwa menjadi tidak memiliki kepekaan lagi.” (Tanbiihu Al Ghafiliin,93) Bagi Al Hasan, kesalahan dan dosa itu masih bisa dianggap kewajaran lantaran manusia memang pasti melakukan salah dan dosa. Yang ia khawatirkan justru ketika kesalahan dan dosa itu tidak dapat dihentikan, dilakukan terus menerus, lalu jiwa menjadi tidak sensitif terhadap kesalahan dan dosa itu. Juga, ketika dosa dan kesalahan tak terhenti karena tak mau menerima teguran yang bisa menyadarkan. Dan, ketika dosa dan kesalahan terlalu sering dilakukan karena tak ada nasihat serta teguran

yang bisa menghentak diri dari kelalaian. Ada lagi akibat dosa yang lebih berbahaya dari kondisi itu. Yakni perasaan aman dan tidak mendapatkan hukuman dari berbagai dosa yang dilakukan. Artinya, seseorang bukan saja tidak menyadari dosa yang dilakukan, tapi lebih dari itu, merasa tenteram dan aman dari hukuman yang Allah swt berikan.

Saudaraku,

Camkanlah nasihat yang dituturkan Imam Ibnul Jauzi dalam Shaidul Khatir, “Ketahuilah, ujian paling besar bagi seseorang adalah merasa aman dan tidak mendapatkan siksa setelah mengerjakan dosa. Bisa jadi hukuman datang belakangan. Dan hukuman paling berat adalah jika seseorang tidak merasakan hukuman itu. Sampai hukuman itu menghilangkan agama, mencampakkan hati hingga tak bisa menentukan pilihan yang baik. Dan, di antara efek hukuman ini adalah seseorang tetap melakukan dosa sedangkan tubuh segar bugar dan seluruh keinginannya tercapai.” (Shaidul Khatir, 169)

Renungkanlah, kalimat terakhir dari nasihat Ibnul Jauzi ini..._

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More