This is default featured post 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured post 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured post 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured post 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured post 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

19 Agustus 2010

Memberi yang Kita Butuhkan (Ruhaniyat Tarbawi)

Saudaraku,

Sulit memahami sikap-sikap mulia para sahabat dan salafushalih. Ada banyak bentuk pengorbanan yang mereka lakukan untuk kepentingan orang, tapi sangat sukar dicerna oleh logika keduniaan dan kemanusiaan kita. Bayangkanlah apa yang dilakukan seorang sahabat Anshar untuk memuliakan seorang tamu yang sama sekali tidak begitu ia kenal sebelumnya. Ketika suatu hari ada sesorang mendatangi Rasulullah saw namun Rasul tidak memiliki makanan apapun untuk dihidangkan. “Siapa yang bisa memberi hidangan kepadanya?” tanya Rasulullah kepada para sahabatnya. Serta merta seorang sahabat Anshar langsung menyambutnya. “Saya ya Rasulullah,” katanya.

Tahukah kita, bila sebenarnya kondisi sahabat Anshar itu pun tak mempunyai makanan apapun, kecuali makanan untuk anak-anaknya? Karena ketika ia pulang ke rumahnya dan menceritakan masalah itu kepada isterinya. Sang isteri lalu mengatakan lirih, “Kita tidak mempunyai apa-apa untuk tamu itu, kecuali makanan untuk anak kita.”

Apa sikap sahabat Anshar yang sulit dicerna oleh logika kita itu? Lihatlah, bagaimana ketulusan sahabat untuk memuliakan sang tamu yang luar biasa. Ia menginstruksikan isterinya untuk menghidangkan apapun makanan yang mereka punya, mematikan lampu rumah dan menidurkan anaknya kelaparan jika bangun ingin makan malam. Saat sang tamu datang, rumahnya gelap dan tuan rumah menawarkan sang tamu untuk makan bersama. Ia sengaja mematikan lampu, agar tampak sepertinya ia mendampingi sang tamu makan pada malam itu. Padahal ia sekeluarga, melewati dingin sepanjang malam tidak makan dan menahan lapar. Ketika Rasulullah saw mendengar sikap sahabat Anshar itu, ia tersenyum dan mengatakan, “Allah swt tertawa pada malam itu. Dia kagum dengan apa yang kalian berdua lakukan itu.”

Bagaimana logika kita memaknai sikap seperti ini saudaraku? Seperti itulah bentuk pengorbanan yang dicontohkan para sahabat radhiallahu anhum. Kita memang sulit menafsirkan cara berfikir mereka yang mengorbankan kebutuhan pribadi dan keluarga, hanya untuk seorang tamu. Itu karena kita mungkin lebih sering berfikir dengan naluri pertimbangan keduniaan ketimbang pertimbangan keakhiratan. Kita mungkin lebih sering menimbang masalah dari sudut kemungkinan-kemungkinan yang ada dalam pikiran kita, tapi lebih mengecilkan peran-peran Allah swt. Kita mungkin lebih banyak menggunakan logika soal batas kemampuan kita dalam melakukan ketaatan, padahal Allah swt pasti menyediakan kemampuan manusia untuk melakukan apapun untuk taat kepada-Nya.

Saudaraku,

Sikap sahabat Anshar itulah yang kemudian membuat Allah tertawa karena takjub terhadap ketulusan dan kebaikan hamba-Nya. Bayangkanlah, Allah tertawa karena takjub terhadap sikap hamba-Nya.

Saudaraku,

Sahabat dari kalangan Anshar memang memiliki banyak keistimewaan, salah satunya adalah sikap mereka yang sangat mementingkan kepentingan orang lain ketimbang diri mereka sendiri. Mereka jalani pengorbanan-pengorbanan besar seperti itu dengan hati lapang, tentram, tenang. Syaikh As-Sadiy rahimahullah, dalam tafsirnya mengatakan, “Lebih mengutamakan orang lain, adalah salah satu kelebihan sifat kaum Anshar ketimbang yang lainnya. Kaum Anshar memiliki sifar lebih mendahului orang lain dalam hal harta dan lainnya, padahal mereka sendiri sedang membutuhkannya. Sekalipun mereka dalam tingkat darurat dan mendesak untuk kebutuhan itu.” (Tafsir As Sadiy, Taysir fi Tafsir Kalam Al Manan, 1025).

Renungkanlah sikap seorang sahabat yang sangat ingin berderma dan membantu orang lain, namun ia tak memiliki harta. Ya Rasulullah, katanya suatu ketika. “Aku benar-benar tidak mempunyai harta untuk disedekahkan pada orang lain. Tapi aku telah bersedekah untuk mereka dengan kehormatanku. Jika ada orang yang memukul atau menuduhku, ia tetap bebas dariku.” Sampai-sampai Rasulullah saw bersabda, “Siapa diantara kalian yang bisa berlaku seperti Abu Dhamdham, maka lakukanlah.”

Saudaraku,

Tidak heran jika banyak dianara para sahabat itu yang rela gugur syahid di medan peperangan, yang artinya sama dengan menyerahkan nyawa untuk agama dan kemuliaan umatnya. Tidak heran jika salah satu syiar hidup yang mereka jadikan pegangan adalah syair, “In lam yakun bika alayya ghadab, falaa ubaalii.” “Ya Allah, selama Engkau tidak murka kepadaku, maka apapun yang kualami, aku tidak peduli.” Mereka juga begitu menghayati prinsip hidup sebgaimana bunyi syair, “Idzaa aradta an tas’ada fi asadil akharin,” “ jika engkau meraih bahagia, bahagiakanlah orang lain.”

Merka bisa memilih dan menempatkan sikap yang tepat. Jika mereka menginginkan ridha Allah, maka mereka akan mengabaikan apapun keridhaan yang lainnya yang menghalangi mereka untuk meraih ridha Allah. Jika mereka meraih kebahagiaan akhirat, mereka akan membuang keinginan kebahagiaan semu yang bisa menjauhkannya dari keinginan bahagia di akhirat. Jika mereka ingin menapaki jalan yang bisa mengantarkan mereka pada surga, maka mereka akan menutup semua pintu yang bisa mengarahkannya pada jalan selain surga. Seperti yang pernah dikatakan orang shalih, “Jika manusia takut pada neraka sebagaimana ia takut pada kemiskinan, niscaya ia akan selamat dari keduanya. Kalau ia menginginkan surga sebagaimana ia menginginkan kekayaan, niscaya ia akan mendapatkan keduanya. Dan jika ia takut pada Allah dalam hatinya sebagaimana ia takut pada Allah dalam perilakunya secara lahir, niscaya ia akan bahagia di dunia dan di akhirat.”

Mereka adalah orang-orang yang sangat peka pada peran-peran yang harus dilakukannya untuk orang lain. Mereka tetap bisa meraba sesuatu sebagai nikmat Allah swt di saat orang lain menganggap sesuatu itu bukan nikmat Allah swt. Seorang murid dari ulama terkenal, Fudhail bin Iyadh rahimahullah, bercerita, “Aku pernah bersama sorang yang alim, Fudhail bin Iyadh. Suatu ketika ada seseorang yang datang dan meminta uang darinya berulang kali. Aku mengatakan pada orang itu, ‘Pergilah! Jangan ganggu syaikh.’ Tapi Fudhail malah mengatakan, ‘Diamlah, tidakkah engkau tahu bahwa kebutuhan orang kepada kamu itu adalah nikmat Allah kepadamu. Hati-hatilah kalian jika kalian tidak bersyukur terhadap nikmat Allah lalu berubah menjadi bencana. Tidakkah engkau justru memuji Allah karena masih ada orang yang meminta kepadamu?”

Saudaraku,

Coba kita lakukan, ikhlas dan tulus memberi orang lain dengan sesuatu yang kita butuhkan, demi menutupi kebutuhan orang itu. Bagaimana rasanya saudaraku?_

Di Mana Figur Saudara yang Shalih? (Ruhaniyat Tarbawi)


Saudaraku,

“Dimana figur seorang saudara yang shalih? Saat keluarga jenazah saudaranya yang wafat, sibuk berbagi warisan, menikmati apa yang ditinggalkan. Tapi saudara yang shalih justru menyendiri penuh kesedihan. Menyesal karena sedikit yang telah diberikan untuk saudaranya. Ia mendo’akannya di antara gelap malam. Ia memohonkan ampunan untuknya. Padahal ia sendiri hidup dalam kesulitan.”

Ini petikan perkataan seorang ulama yang dikutip penulis kitab Qawa ’id as Salaf adz Dzahabiyah fi al Ukhuwwah al Imaniyah. Sebuah kitab yang menuangkan banyak hal tentang prinsip emas hubungan persaudaraan kaum Muslimin generasi terdahulu. Persaudaraan dalam keimanan, kebersamaan di atas jalan Allah, adalah rantai penting yang mampu memperkuat kita mengarungi derasnya permasalahan hidup.

Masih ingat perkataan Hasan Al Bashri saudaraku? Dialah yang mengatakan, dirinya lebih mencintai saudara-saudaranya di jalan Allah ketimbang keluarga dan anak-anaknya. “Keluarga kami mengingatkan kami dengan dunia, sedangkan saudara-saudara kami di jalan Allah mengingatkan kami dengan akhirat,” begitu ujar Hasan Al Bashri rahimahullah. Begitu indahnya zaman itu. Saat kedudukan seorang saudara di jalan Allah menempati kedudukan paling tinggi dalam jiwa. Ketika seorang saudara di jalan Allah lebih diutamakan ketimbang diri sendiri. Di waktu kebaikan untuk seorang saudara lebih sering diharapkan daripada untuk diri sendiri. Sampai-sampai seorang penyair di zaman itu mengukir pentingnya kita untuk bersaudara karena Allah disetiap tempat, di manapun. Katanya, “Saudaramu, saudaramu. Sungguh orang yang tak mempunyai saudara, seperti orang yang berada di tengah medan laga tanpa senjata.” Betapa ingin kita mewujudkan suasana kebersamaan dan persaudaraan di zaman salafushalih ada di antara kita. Allah swt telah merahmati generasi terdahulu dengan nikmat persaudaraan yang begitu indah. Perekatan hati karena Allah. Ikatan batin karena keimanan. Kekuatan yang muncul karena persaudaraan dan kesatuan yang nyaris tak bisa digoyahkan.

Saudaraku di jalan Allah,

Lalu, sudah berapa lama kita menginjakkan kaki di jalan ini? Hitung-hitunglah masa sejak awal pertama Allah swt mengkaruniakan kebersamaan untuk kita berjalan di atas jalan Allah ini. Ingat-ingatlah rentang waktu yang telah kita lewati, rangkaian peristiwa yang kita tinggalkan, pernak pernik pengalaman, hingga saat ini ketika kaki kita masih di atas jalan ini. Betapa banyak debu, kesulitan, kepedihan yang ternyata berhasil kita lewati dalam kebersamaan ini. Betapa banyak masa-masa indah dan kesenangan tak tergambarkan dalam kebersamaan kita, di waktu lalu.

Di mana figur saudara shalih di atas jalan Allah?

Kita sangat membutuhkan keberadaannya, di tengah zaman “musuh-musuh berebut menyerang, bak berebut memakan makanan di atas piring ”. Kita begitu mendambakan kehadiran suasana persaudaraan yang pernah ada di zaman lalu. Perhatikanlah, di antara syiar-syiar persaudaraan di antara mereka. Mereka yang dengan prestasi amal ibadah dan dakwahnya yang luar biasa, tapi tetap menganggap saudara-saudara mereka lebih baik dan lebih utama dari dirinya. Dahulu, salah satu syiar mereka tercermin dari perkataan Abdurrahman bin Auf radhiallahuanhu ketika ia datang membawa makanan, dan mengatakan, “Mush ’ab bin Umair ra telah terbunuh. Padahal ia orang yang lebih baik dariku. Lalu ia dikafani dengan burdah. Jika ditutup bagian kepalanya, terlihat bagian kakinya. Jika ditutup bagian kakinya terlihat kepalanya. Telah terbunuh Hamzah ra. Dan dia pasti orang yang lebih baik dari diriku. Lalu kini, dunia dibentangkan untuk kita seperti yang kita alami sekarang. Aku khawatir kebaikan-kebaikan untuk kita datangnya dipercepat di dunia...”

Setelah itu, Abdurrahman bin Auf ra menangis dan meninggalkan makanannya. Itulah Abdurrahman bin Auf ra. Sosok salah seorang sahabat yang dijamin masuk surga oleh Allah swt. Tapi ia tetap begitu terkesan, begitu menghormati, begitu memuliakan saudara-saudaranya yang lain. Pelajaran sederhana tentang penghormatan kepada sesama saudara Muslim juga diajarkan oleh Imam Bakr bin Abdullah Al Mazni rahimahullah ketika menasihati, “Jika engkau bertemu dengan orang yang usianya lebih tua darimu, katakanlah, orang ini telah lebih dahulu daripadaku dalam hal keimanan dan amal shalih. Ia lebih baik dariku. Jika engkau bertemu dengan orang yang usianya lebih muda darimu, katakanlah, aku telah mendahuluinya dalam dosa dan kesalahan. Jadi, dia lebih baik dariku.”

Perhatikanlah saudaraku,

Tak ada satupun dari mereka yang menganggap dirinya lebih mulia, lebih patut dihormati, lebih layak disegani, lebih bernilai karena ibadah, lebih hebat karena kedudukan, lebih senior karena lebih dahulu masuk Islam, dan semacamnya. Jiwa persaudaraan Islam menyerap ke dalam sanubari dan jiwa mereka, sehingga mereka lebih sering melihat kebaikan saudara-saudaranya, ketimbang keburukannya. Lalu, rasa ketundukan dan tawadhu ’ mereka membuat mereka tetap merasa memiliki banyak kekurangan dibanding saudara-saudara mereka. Dan, dari sikap itulah mereka selalu menjadi lebih baik dan lebih baik.

Abdullah bin Mas ’ud radhiallahu anhu bahkan diriwayatkan kerap mengungkapkan satu perkataan hingga nyaris dihafal oleh para sahabatnya. Perkataan itu adalah, ungkapan hatinya kepada sahabat-sahabatnya, “Antum jalaa-u qalbi ”, kalian adalah penyejuk hatiku. Indah dan menyentuh sekali kata-kata Abdullah bin Mas ’ud radhiallahu anhu. Ia tokoh sahabat yang disebut Rasulullah saw, sangat memahami Al Quranul Karim. Tapi dia begitu memiliki kenyamanan dan keintiman sendiri dengan saudara-saudaranya.

Saudaraku,

Di mana figur saudara-saudara shalih di jalan Allah? Kenapa kita tidak segera mewujudkannya hadir di antara kebersamaan kita?_

“Aku Ingin Memberi Kabar Gembira untuk Keluargaku...” (Ruhaniyat Tarbawi)

saudaraku,

Setiap orang pasti punya harapan. Pasti memiliki keinginan. Tapi harapan dan keinginan setiap orang, mungkin saja berbeda. Perbedaan itu terkait dengan banyak hal. Bisa karena lingkungan tempat orang itu berada, bisa tergantung pada pola pikir yang terbentuk dalam dirinya, juga bisa karena pengaruh orang-orang yang ada di sekitarnya.

Maka, bila kita ingin menjawab pertanyaan, “Apa yang menjadi cita-cita terbesar kita dalam hidup ini?”, Jawabannya terkait dengan tiga faktor tadi; lingkungan, pola pikir dan orang-orang sekitar kita. Orang yang secara ekonomi merasa begitu menderita, umumnya bercita-cita ingin menjadi kaya, memiliki rumah besar dan kendaraan. Orang yang sedang sakit dan lama terbaring di atas kasur, umumnya berharap agar penyakitnya sembuh dan ia bisa bebas bergerak lagi, lalu bisa menikmati makanan enak dan tidur nyenyak. Andai kita mengajukan pertanyaan yang sama kepada orang yang hartanya berkecukupan, biasanya ia berharap agar hartanya terus bertambah sampai menjadi orang paling kaya. Meski pada kenyataannya, harapan duniawi itu tak akan pernah membuat orang kenyang dan selalu menjadikan manusia bertambah dahaga.

Saudaraku,

Setiap orang, pasti sangat ingin cita-cita dan harapannya menjadi nyata. Tapi, ada sebagian orang yang sudah tidak mungkin lagi berharap keinginan mereka itu terwujud. Mereka tidak mempunyai kesempatan lagi untuk berusaha, berbuat, melakukan sebab apapun untuk bisa mencapai harapan dan cita-

citanya. Siapakah mereka? Kenapa mereka tak mungkin lagi berupaya menggapai keinginannya? Lalu, mungkinkah kita bisa membantu mereka mewujudkan harapan mereka?

Saudaraku,

Mereka orang-orang yang sudah pergi meninggal dunia. Mereka, orang-orang yang telah wafat dan dikembalikan ruhnya kepada Allah swt.. ..Laa haula walaa quwwata illaa billaah... Tidak ada daya dan kekuatan kecuali Allah...

Mari kita membicarakan kelompok yang sering dilupakan ini. Agar kita mengetahui bagaimana sebenarnya, keinginan orang-orang yang telah ditentukan tempat akhirnya di surga atau neraka. Mereka orang-orang yang telah menyaksikan para Malaikat, yang telah melihat langsung hal-hal yang semula ghaib,

yang sudah meyakini hakikat dunia dan hakikat akhirat, yang merasakan detik demi detik penantian sebelum mereka dibangkitkan. Apa saja daftar harapan dan keinginan mereka?

Saudaraku,

Di antara mereka, ada para shalihiin. Orang-orang yang telah mengisi waktu hidupnya dengan amal-amal shalih. Saat ruhnya dipanggil oleh Allah swt, ia sangat berharap untuk segera dan mempercepat perjalanannya menuju liang kubur. Ia ingin sekali segera menjumpai tempat pemakamannya yang lapangdan menenangkan. Perhatikanlah saudaraku, bagaimana hadits yang disampaikan dari Abi Sa ’id Al Khudri radhiallahu anhu, bahwa Rasulullah saw bersabda, “Ketika jenazah diletakkan dan dibawa di atas punggung orang-orang yang memikulnya. Jika ia merupakan jenazah orang shalih, ia akan berkata, “Percepatlah.. percepatlah.. Tapi jika jenazah itu bukan dari golongan orang shalih, ia berkata, “Aduh, kemana mereka akan bawa jenazah ini?” Semua mendengar perkataan itu kecuali manusia. Andai manusia mendengarnya, niscaya ia bisa jatuh pingsan.” (HR.Bukhari).

Saudaraku,

Seperti itu sepintas harapan yang keluar dari orang-orang mati. Dan peristiwanya memang belum berakhir. Harapan-harapan mereka masih terus terungkap. Bagi orang-orang shalih, saat pertama kali dimasukkan ke dalam liang kubur, itu adalah saat pertama memperoleh kabar gembira tentang surga. Ia bahkan telah dikaruniai Allah untuk melihat kedudukannya di surga. Maka, ia sama sekali tak ingin kembali ke dunia. Ia justeru berharap agar hari kebangkitan segera datang dan ia bisa merasakan langsung kenikmatan yang ditunggu-tunggu itu.

Inilah yang disabdakan Rasulullah saw, bahwa ketika seorang mukmin menjawab pertanyaan dua Malaikat di dalam kuburnya, terdengarlah seruan dari langit “Jika hamba-Ku benar, selimutilah ia dengan selimut dari surga, beri pakaian untuknya dengan pakaian dari surga, bukakan di hadapannya pintu menuju surga. Lalu ia bisa mencium wangi dan harumnya surga. Kuburnya akan dijadikan luas sepanjang ia memandang. Ia lalu didatangi seorang yang berwajah tampan, berpakaian bagus dan harum. Orang itu berkata, “Berbahagialah dengan sesuatu yang akan memudahkanmu .Ini adalah harimu yang telah dijanjikan. ” Si mayit berkata,, “Siapa kamu? Wajahmu adalah wajah yang mendatangkan kebaikan.” Orang itu mengatakan,, “Aku adalah amal shalihmu.” Ketika itulah, si mayit berkata, “Ya Rabb..percepatlah hari kiamat. Ya Rabb...percepatlah hari kiamat .Agar aku bisa bertemu dengan keluarga dan hartaku...” (HR.Abu Daud).

Saudaraku,

Bukan hanya itu kebahagiaan mereka. Seorang shalih, bahkan sangat ingin kembali ke dunia dan memberitahukan keluarganya yang masih hidup. Perhatikanlah saudaraku, Bagaimana keinginan itu digambarkan dalam hadits Rasulullah saw. “Jika seorang Mukmin melihat keluasan yang diberikan Allah un-

tuknya di dalam kuburnya, ia mengatakan, “Biarkan aku pergi untuk memberitakan kabar gembira kepada keluargaku.” Lalu dikatakanlah kepadanya : “Tenanglah...” (HR.Ahmad)

Saudaraku,

Rasakanlah getar suka cita dan kebahagiaan yang menyergap perasaan orang-orang shalih itu, saat pertama mereka berada di alam kubur. Mereka, sangat ingin diberi kesempatan bertemu dengan keluarga yang ditinggalkan untuk menyampaikan kebahagiaan yang mereka rasakan. Mereka, merindukan keluarga yang ditinggalkannya agar mengetahui keadaan mereka saat itu. Mereka ingin keluarga yang telah menemaninya hidup dalam keshalihan, turut berbahagia dengan keadaanyang dialaminya.

Saudaraku,

Akankah kita akan merasakan kebahagiaan

seperti mereka?_

Sekarang Juga Berdo’alah (Ruhaniyat Tarbawi)


Saudaraku,

Apa yang kita pinta dari Allah swt? Allah itu dekat. Sangat dekat. “Jika hamba-hamba-Ku bertanya tentang Aku, maka sesungguhnya Aku sdekat. Aku menjawab permintaan orang yang meminta jika ia meminta kepada-Ku…” (QS. Al Baqarah:186). Maka pintalah kepada Allah, karena Dia dekat dan pasti mengabulkan permintaan siapa pun yang meminta kepada-Nya.

Ada tiga masalah penting yang dapat kita garis bawahi dari firman Allah itu. Pertama, Allah menisbatkan diri-Nya kepada kita selaku hamba-Nya, dalam kata ‘ibaadii’ yang artinya hamba-hamba-Ku. Penyandaran nama Allah pada kita selaku hamba Allah merupakan tanda kedekatan Allah kepada kita. Tanda bahwa Allah begitu sayang dan sangat memperhatikan kita.

Kedua, Allah swt berfirman, “Sesungguhnya Aku dekat…” Jawaban itu tanpa perantara. Allah swt seperti menghapus kalimat ‘qul lahum´ (katakanlah kepada mereka) yang lazimnya ada setelah kalimat ‘wa idza saalaka ibaadii annii’ (jika salah seorang hamba-Ku bertanya tentang Aku). Allah segera menjawab langsung dengan ‘fa ‘innii qariib’ (sesungguhnya Aku dekat). Ungkapan seperti ini menandakan bahwa pintu Allah swt selalu terbuka. Allah swt memang dekat bagi siapa saja yang menyeru-Nya. Allah swt Maha Pemaaf terhadap hamba-Nya yang bertaubat kepada-Nya.

Ketiga, Allah swt segera menyatakan, ‘ujiibu da’wata daa’ii idza da’aanii’ (Aku mengabulkan permohonan jika ia memohon kepada-Ku). Firman Allah swt ini langsung ditegaskan setelah ‘fa ‘innii (sesungguhnya Aku dekat). Artinya, Allah swt tidak memerlukan lagi kalimat ‘Aku mendengarkan pinta mereka’, tapi tanpa jarak langsung mengutarakan ‘Aku mengbulkan permohonan jika ia memohon kepada-Ku.’ Itu sebabnya, Sayyid Quthb rahimahullah menyebut ayat ini dengan kalimat ‘aayah ajiibah’ (firman Allah yang menakjubkan). “Ayat ini menanamkan dalam hati orang beriman, sebuah panggilan yang menyejukkan, penuh kasih sayang dan kedekatan, keridhaan yang menenagkan, kepercayaan penuh, keyakinan yang tinggi…,” tulis Sayyid Quthb dalam kitab Fii Dzilal Al Qur’an.

Saudaraku,

Allah itu dekat. Allah swt lebih dekat dari sekadar orang tua, suami, isteri, saudara, apalagi teman dan sahabat. Bahkan tidak ada yang lebih dekat kepada diri kita kecuali Allah. Maka optimislah dengan do’a-do’a yang kita penjatkan kepada Allah swt. Karena Allah bisa mengabulkan do’a para nabi, para rasul, para wali-Nya, musuh-musuh-Nya, bahkan iblis sekalipun. Iblis, makhluk Allah yang paling dimurkai, dikabulkan permintaannya kepada Allah swt saat ia meminta penangguhan masa hidupnya hingga hari kebangkitan, untuk menggoda dan menjerumuskan Bani Adam. Tapi pengabulan pinta itu, tidak menyebabkan kedekatan Allah kepada iblis. Yang ada, justru penjauhan dan penambahan kemurkaan kepada iblis.

Siapapun yang meminta kepada Allah swt pasti dikabulkan dengan cara yang Allah kehendaki. Pasti. “Berdo’alah kepada Allah, sedangkan kalian yakin bahwa do’a itu pasti akan dikabulkan. Ketahuilah bahwa Allah tidak menyambut do’a dari hati orang yang lalai,” demikian pesan Rasul saw dalam hadits shahih.

Saudaraku,

Pengabulan do’a, bukan semata karena kemuliaan orang yang meminta. Allah akan mengabulkan permintaan seorang hamba untuk memenuhi hajatnya, namun belum tentu pengabulan itu berarti Allah swt ridha dan mendekatkan si pendo’a menjadi lebih tunduk dan dekat kepada-Nya. Boleh jadi, pengabulan do’a itu justru menambah jarak antara dirinya dengan Allah swt.

Sementara di kempatan lain, Allah menahan pengabulan do’a seseorang bukan karena Dia tidak ridha dan benci, tapi bisa saja karena kecintaan dan kemuliaan si peminta. Sehingga Allah melindungi, memelihara dan menahan permintaan yang bisa menjerumuskannya pada jurang ketidakridahaan-Nya. Sebagian orang ada yang menyangka Allah tidak kunjung mengabulkan do’a karena Allah tidak mencintai, tidak memuliakan, membiarkan mereka, karena ada orang lain yang dikabulkan do’anya oleh Allah.

Saudaraku,

Berhati-hatilah dari permintaan kepada Allah swt tentang sesuatu yang kita tentukan, tapi tanpa kita mengetahui apa akibatnya, bila pinta itu dikabulkan oleh Allah. Syaikh Khalid Ar Rasyid mengatakan, “Jika kita harus meminta sesuatu yang tertentu, mintalah kepada Allah dengan tetap menggantungkan pinta itu dengan kata-kata ‘kebaikan menurut Allah swt’,” Maksudnya, bukan hanya ‘kebaikan versi kita’. Karena kebaikan versi kita, belum tentu kebaikan menurut Allah. Ada permintaan yang dalam anggapan kita baik, tapi kita tidak pernah tahu hakikatnya jika pinta itu dikabulkan. Hanya Allah swt saja yang Maha Mengetahui yang baik.

Saudaraku,

Mari perhatikan nasihat Ibnu Atha tentang rahasia do’a yang baik untuk kita tunaikan. Ia mengatakan, “Do’a itu mempunyai tiang, sayap, sebab dan waktu. Jika tiangnya dibangun, do’a menjadi kokoh. Jika sayapnya tumbuh, do’a akan bisa naik ke atas langit. Jika waktunya terpenuhi, do’a itu akan menang. Jika sebab-sebanya dilaksanakan, do’a itu akan berhasil dikabulkan. Tiang-tiang do’a itu adalah konsentrasi hati, kelembutan, ketenangan, khuyuk di hadapan Yang Maha Mengetahui yang ghaib. Sayap do’a itu, tulus dan jujur kepada Allah. Waktu do’a itu adalah waktu sahur. Sebab dikabulkannya do’a itu adalah shalawat kepada Rasulullah saw.”

Tunggu apa lagi saudaraku,

Sekarang juga, banyaklah berdo’a dan jangan bosan. Rasulullah saw mengatakan, “Sungguh orang yang paling lemah adalah yang lemah dalam berdo’a.” (Shahih Ibnu Hibban)

Sungguh luar biasa kasih sayang dan dekatnya Allah swt kepada kita...._

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More